Selasa, 28 Desember 2010

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

A.PENGERTIAN
Pembangunan adalah seperangkat usaha yang terencana dan terarah untuk menghasilkan sesuatu yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan hidup manusia.
Berkelanjutan adalah kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan. (UU No.26 tahun 2007)
Menurut World Comission on Environment and Development
Pembangunan berkelanjutan adalah suatu pola pemnbangunan yang bertujuan untuk mencukupi kebutuhan generasi penduduk masa kini tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk mencukupi kebutuhannya.
Komisi Brundtland yang menyatakan bahwa
“pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi, 2004).
Menurut Brundtland Report dari PBB, 1987
Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan". Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Menurut (Dr. Zulkifli)
Keberlanjutan pembangunan dapat didefinisikan dalam arti luas yaitu bahwa generasi yang akan datang harus berada dalam posisi yang tidak lebih buruk daripada generasi sekarang. Generasi sekarang boleh memiliki sumber daya alam serta melakukan berbagai pilihan dalam penggunaannya namun harus tetap menjaga keberadaannya, sedangkan generasi yang akan datang walaupun memiliki tingkat teknologi dan pengetahuan yang lebih baik serta persediaan kapital buatan manusia yang lebih memadai.
Pembangunan Berkelanjutan diatur dalam
UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup




B.SEJARAH
Di Eropa, ide pembangunan berkelanjutan pertama kali dikembangkan di bidang kehutanan. Seawal abad ke 13, di sana ada beberapa aturan tentang kesinambungan penggunaan kayu (Hukum kehutanan Nuremberg dari 1294). Masalah penebangan bersih (clear cut) tanpa memperhatikan penghutanan kembali telah didiskusikan oleh Carlowitz, seorang bangsawan dari Saxony dalam papernya: "Sylvicultura Oeconomica-instruksi untuk penanaman alamiah dari pohon liar" (1713). Calrowitz meminta untuk mempelajari "world’s book of nature". Ia meminta bahwa manusia harus menyelidiki aturan-aturan alam, dan selalu, secara terus menerus dan "perpetuirlich". Carlowitz memohon di dalam bukunya beberapa hal pada konstruksi
rumah seperti peningkatan isolasi melawan panas dan dingin, ia meminta penggunaan tungku pelebur dan kompor hemat energi, dan penghijauan terjadual dengan penanaman dan penebangan. Akhirnya, ia meminta "surrogata" atau "penggantian" fungsi daripada kayu .

Berdasarkan ide-ide ini Georg Ludwig Hartig mempublikasikan sebuah paper pada tahun 1795 yang berjudul, "Instructions for the taxation and characterization of forests", untuk menggunakan kayu seefektif mungkin, tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan generasi yang akan datang . Ide mengenai pembangunan berkelanjutan telah lahir. Akan tetapi, tujuan ini sebenarnya lebih cenderung kepada ekonomi dan sosial alamiah. Perlindungan daripada
lingkungan dan alam adalah melebihi atau diluar ruang lingkup akhir-akhir ini. Prinsipprinsip awal ini mengenai pembangunan berkelanjutan hanya dibatasi pada bidang kehutanan dan tidak diperluas di bidang lainnya.

Istilah kesinambungan di dalam konteks perlindungan alam and biosfer duni pertama kali digunakan pada tahun 1980-an, di dalam program "World Nature Protection for Conservation of Nature (IUCN)" dan "World Wide Fund for Nature (WWF)". Ini artinya dan tujuannya adalah penggunaan sistem biologi yang ada tanpa mengubah karakterisktik esensialnya .
Ide dari konsep ini kemudian lebih lanjut diperluas dengan penggunaan "pembangunan berkelanjutan". Aspek ekonomi ditambahkan pada aspek ekologi dan sosial terdahulu seperti dinyatakan oleh the Brundtland Report pada 1987. Dari asal muasalnya pada istilah dan ide telah digunakan dan disempurnakan. Tanda kemajuan berikut dibentuk badan PBB "United Nations’s Conference on Environment and development" (UNCED) yang diselenggarakan di Rio de Janeiro. Sekitar 170 negara menandatangani Agenda 21 dengan "pembangunan berkelanjutan"
sebagai tujuan global (dunia). Karena karakter global dari Agenda 21 tidak
terlalu jelas pada beberapa aspek. Ini menggambarkan hanya pada tujuan global tetapi tidak menunjukkan jalan untuk mencapainya. Dengan demikian, ’spirit’ daripada Agenda 21 kelihatannya lebih penting daripada kata-kata dari dokumen: hanya kerja sama dan kemitraan global antar negara dapat memecahkan masalah ekologi dan sosial dunia yang sangat penting.

Di laporan akhir "Concept Sustainability, from Theory to Application" atau "Konsep
Kesinambungan, dari Teori sampai Aplikasi", aturan-auran umum telah didefinisikan Komisi juga menyatakan "pelestarian dan peningkatan ekologi, ekonomi, dan barang-barang sosial" sebagai tujuan utama pembangunan berkelanjutan. Itu menunjuk pada tiga kolom yang sama mengenai kesinambungan bertumpu pada ekologi, ekonomi, dan masyarakat. Laporan juga mendefinisikan langkah praktis dan cara-cara pada bagaimana mencapai tujuan kesinambungan. Pada bulan Juni 2001, anggota Uni Eropa bertemu di Goetheburg, Swedia untuk mendiskusikan masa depan Eropa dan mempertimbangkan petunjuk umum, pada kebijakan dengan hasil sebagai berikut:

Pembangunan berkesimbungan berarti memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa
membahayakan kebutuhan generasi yang akan datang. Dengan demikian, adalah
penting untuk membangun kebijakan ekonomi, ekologi, dan kebutuhan sosial
dengan cara sinergis yang mana mereka saling kuat-menguatan satu sama lain.
Jika ini tidak mungkin untuk memberhentikan kencenderungan yang mengancam
kualitas hidup yang akan datang, kebutuhan biaya dari masyarakat akan
meningkat secara dramatik dan tendensi negatif akan menjadi tidak dapat balik.
Konsul Eropa menerima dengan baik pengumuman Komisi Pembangunan Berkelanjutan
dengan solusi penting untuk memberhentikan kecenderungan negatif.

C.Ciri-ciri Pembangunan Berkelanjutan :
Menjamin pemerataan dan keadilan, yaitu generasi mendatang memanfaatkan dan melestarikan sumber daya alam sehingga berkelanjutan.
Menghargai dan melestarikan keanekaragaman hayati, spesies, habitat, dan ekosistem agar tercipta keseimbangan lingkungan
Menggunakan pendekatan intergratif sehingga terjadi keterkaitan yang kompleks antara manusia dengan lingkungan untuk masa kini dan mendatang
Menggunakan padangan jangka panjang untuk merencanakan rancangan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang mendukung pembangunan.
Meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.
Memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan pemenuhan kebutuhan generasi mendatang dan mengaitkan bahwa pembangunan ekonomi harus seimbang dengan konservasi lingkungan.

D.Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Beberapa prinsip pembangunan berkelanjutan pilihan dari Deklarasi Rio
pada tahun 1992 adalah sebagai berikut (UNCED, The Rio Declaration on
Environment and Development, 1992 dalam Mitchell et al., 2003):


Prinsip 1: Manusia menjadi pusat perhatian dari pembangunan berkelanjutan.
Mereka hidup secara sehat dan produktif, selaras dengan alam.
Prinsip 2: Negara mempunyai, dalam hubungannya dengan the Charter of the
United Nations dan prinsip hukum internasional, hak penguasa utnuk
mengeksploitasi sumberdaya mereka yang sesuai dengan kebijakan
lingkungan dan pembangunan mereka……
Prinsip 3: Hak untuk melakukan pembangunan harus diisi guna memenuhi
kebutuhan pembangunan dan lingkungan yang sama dari generasi sekarang
dan yang akan datang.
Prinsip 4: Dalam rangka pencapaian pembangunan berkelanjutan,
perlindungan lingkungan seharusnya menjadi bagian yang integral dari proses
pembangunan dan tidak dapat dianggap sebagai bagian terpisah dari proses
tersebut.
Prinsip 5: Semua negara dan masyarakat harus bekerjasama memerangi
kemiskinan yang merupakan hambatan mencapai pembangunan
berkelanjutan…….
Prinsip 6: Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan kualitas
kehidupan masyarakat yang lebih baik, negara harus menurunkan atau
mengurangi pola konsumsi dan produksi, serta mempromosikan kebijakan
demografi yang sesuai.
Prinsip 7: Negara harus memperkuat kapasitas yang dimiliki untuk
pembangunan berlanjut melalui peningkatan pemahaman secara keilmuan
dengan pertukaran ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dengan
meningkatkan pembangunan, adapatasi, alih teknologi, termasuk teknologi
baru dan inovasi teknologi.
Prinsip 8: Penanganan terbaik isu-isu lingkungan adalah dengan partisipasi
seluruh masyarakat yang tanggap terhadap lingkungan dari berbagai tingkatan.
Di tingkat nasional, masing-masing individu harus mempunyai akses terhadap
informasi tentang lingkungan, termasuk informasi tentang material dan
kegiatan berbahaya dalam lingkungan masyarakat, serta kesempatan untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Negara harus
memfasilitasi dan mendorong masyarakat untuk tanggap dan partisipasi
melalui pembuatan informasi yang dapat diketahui secara luas.
Prinsip 9: Dalam rangka mempertahankan lingkungan, pendekatan
pencegahan harus diterapkan secara menyeluruh oleh negara sesuai dengan
kemampuannya. Apabila terdapat ancaman serius atau kerusakan yang tak
dapat dipulihkan, kekurangan ilmu pengetahuan seharusnya tidak dipakai
sebagai alasan penundaan pengukuran biaya untuk mencegah penurunan
kualitas lingkungan.
Prinsip 10: Penilaian dampak lingkungan sebagai instrumen nasional harus
dilakukan untuk kegiatan-kegiatan yang diusulkan, yang mungkin mempunyai
dampak langsung terhadap lingkungan yang memerlukan keputusan di tingkat
nasional.
Prinsip 11: Wanita mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan
pembangunan lingkungan. Partisipasi penuh mereka perlu untuk mencapai
pembangunan berlanjut.
Prinsip 12: Penduduk asli dan setempat mempunyai peran penting dalam
pengelolaan dan pembangunan lingkungan karena pemahaman dan
pengetahuan tradisional mereka. Negara harus mengenal dan mendorong
sepenuhnya identitas, budaya dan keinginan mereka serta menguatkan
partisipasi mereka secara efektif dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.

E.Syarat-syarat untuk tercapainya proses pembangunan berkelanjutan
1.Pro Ekonomi Kesejahteraan, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi
inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan.
2.Pro Lingkungan Berkelanjutan, maksudnya etika lingkungan non antroposentris
yang menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan
kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan
mengutamakan peningkatan kualitas hidup non material.
3.Pro Keadilan Sosial, maksudnya adalah keadilan dan kesetaraan akses terhadap
sumberdaya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan kesetaraan jender


F.Empat dimensi dalam Pembangunan Berkelanjutan :
1.Intra generation dimension
Dimensi pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada generasi saat ini, yaitu sejum;ah penduduk yang menempati wilayah tertentu pada kurun waktu saat ini.
2.Inter generation dimension
Dimensi pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada generasi yang akan datang, yaitu sejum;ah penduduk yang menempati wilayah tertentu pada kurun waktu yang akan datang dalam lingkup ruang dan waktu tertentu.
3.Intra regional dimension
Pembangunan yang dilaksanakan berorientasi pada upaya pemenuhan kebutuhan wilayah akan infrastrukrut wilayah untuk menunjang hubungan internal maupun eksternal dalam rangka upaya perbaikan wilayah khususnya upaya meningkatkan kualitas lingkungan wilayah baik lingkungan abiotik, biotic maupun sosio- kulturnya.
4.Inter regional dimension
Pembangunan di suatu wilayah tidak hanya menimbulkan dampak positif pada wilayah itu sendiri namun juga menimbulkan dampak positif bagi wilayah lain

G.Aspek Pembangunan Berkelanjutan
Haris (2000) dalam Fauzi (2004)
melihat bahwa konsep keberlanjutan dapat diperinci menjadi tiga aspek
pemahaman, yaitu:
1.Keberlanjutan ekonomi, yang diartikan sebagai pembangunan yang
mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara
keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya
ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan
industri.
2.Keberlanjutan lingkungan: Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan
harus mampu memelihara sumberdaya yang stabil, menghindari
eksploitasi sumberdaya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep
ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas
ruang udara, dan fungis ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori
sumber-sumber ekonomi.
3.Keberlanjutan sosial: Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai
sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial
termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.

Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan mempunyai
tiga tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi (economic objective), tujuan ekologi
(ecological objective) dan tujuan sosial (social objective). Tujuan ekonomi
terkait dengan masalah efisiensi (efficiency) dan pertumbuhan (growth); tujuan
ekologi terkait dengan masalah konservasi sumberdaya alam (natural
resources conservation); dan tujuan sosial terkait dengan masalah
pengurangan kemiskinan (poverty) dan pemerataan (equity).








H.Tolak Ukur Pembangunan berkelanjutan
Prof. Otto Soemarwoto dalam Sutisna (2006), mengajukan enam tolok ukur pembangunan
berkelanjutan secara sederhana yang dapat digunakan baik untuk pemerintah pusat maupun di
daerah untuk menilai keberhasilan seorang Kepala Pemerintahan dalam pelaksanaan proses
pembangunan berkelanjutan. Keenam tolok ukur itu meliputi:
a) pro lingkungan hidup;
b) pro rakyat miskin;
c) pro kesetaraan jender;
d) pro penciptaan lapangan kerja;
e) pro dengan bentuk negara kesatuan RI dan
f) harus anti korupsi, kolusi serta nepotisme. Berikut ini penjelasan umum dari masing-masing
tolok ukur.
Tolok ukur pro lingkungan hidup (pro-environment) dapat diukur dengan berbagai indikator. Salah satunya adalah indeks kesesuaian,seperti misalnya nisbah luas hutan terhadap luas wilayah (semakin berkurang atau tidak), nisbah debit air sungai dalam musim hujan terhadap musim kemarau, kualitas udara, dan sebagainya. Berbagai bentuk pencemaran lingkungan dapat menjadi indikator yang mengukur keberpihakan pemerintah terhadap lingkungan. Terkait dengan tolok ukur pro lingkungan ini, Syahputra (2007) mengajukan beberapa hal yang dapat menjadi
rambu-rambu dalam pengelolaan lingkungan yang dapat dijadikan indikator, yaitu:
a. Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi secara benar
menurut kaidah ekologi.
b. Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi
potensi lestarinya serta upaya mencari pengganti bagi sumberdaya takterbarukan (nonrenewable
resources).
c. Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas
asimilasi pencemaran.
d. Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan
(carrying capacity).
Tolok ukur pro rakyat miskin (pro-poor) bukan berarti anti orang kaya. Yang dimaksud pro rakyat miskin dalam hal ini memberikan perhatian pada rakyat miskin yang memerlukan perhatian khusus karena tak terurus pendidikannya, berpenghasilan rendah, tingkat kesehatannya juga rendah serta tidak memiliki modal usaha sehingga daya saingnya juga rendah. Pro rakyat miskin dapat diukur dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) atau Human Poverty Index (HPI) yang dikembangkan PBB. Kedua indikator ini harus dilakukan bersamaan sehingga dapat dijadikan tolok ukur pembangunan yang menentukan. Nilai HDI dan HPI yang meningkat akan dapat menunjukkan pembangunan yang pro pada rakyat miskin.
Tolok ukur pro kesetaraan jender/pro-perempuan (pro-women), dimaksudkan untuk lebih banyak membuka kesempatan pada kaum perempuan untuk terlibat dalam arus utama pembangunan. Kesetaraan jender ini dapat diukur dengan menggunakan Genderrelated. Develotmenta.Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM) untuk suatu daerah. Jika nilai GDI mendekati HDI, artinya di daerah tersebut hanya sedikit terjadi disparitas jender
dan kaum perempuan telah semakin terlibat dalam proses pembangunan.
Tolok ukur pro pada kesempatan hidup atau kesempatan kerja
(pro-livelihood opportunities) dapat diukur dengan menggunakan berbagai indikator seperti misalnya indikator demografi (angkatan kerja, jumlah penduduk yang bekerja, dan sebagainya), index gini, pendapatan perkapita, dan lain-lain. Indikator Kesejahteraan Masyarakat juga dapat menjadi salah satu hal dalam melihat dan menilai tolok ukur ini
Tolok ukur pro dengan bentuk negara kesatuan RI merupakan suatu keharusan, karena
pembangunan berkelanjutan yang dimaksud adalah untuk bangsa Indonesia yang berada dalam kesatuan NKRI.
Tolok ukur anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilihat dari berbagai kasus yang dapat diselesaikan serta berbagai hal lain yang terkait dengan gerakan anti KKN yang digaungkan di daerah bersangkutan.

I.Strategi dalam Pembangunan Berkelanjutan
•Pemanfaatan energy dan pemeliharaan kualitas udara.
•Pemanfaatn lahan dan ruang terbuka hijau di kota
•Pemanfaatan air, bahan bangunan dan pemanfaatan limbah
•Kebijakan dalam bidang transportasi
•Kesehatan, kenyamanan, ketentraman dan ketenangan hidup.

J.Pembangunan Berkelanjutan dalam Analisis Sumber Daya dan Lingkungan
Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan terhadap sumber daya alam yang ada dengan memperhatikan lingkungan secara keseluruhan, sebagai komponen yang penting pada sistem penyangga kehidupan untuk penyerasi dan penyimbang lingkungan global, sehingga keterkaitan dunia internasional menjadi hal penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.
Menurut Emil Salim, ciri pokok pola Pembangunan berkelanjutan secara iksplisit ambang batas keberlanjutan dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung. Kegiatan pembangunan yang mengolah sumber daya alam dan sumber daya manusia terdapat suatu ambang batas di dalam proses pembangunan berkelanjutan. Dalam proses ini banyak mengalami gangguan atau titik kritis seperti hutan yang dibabat terus-menerus, pasti akan habis dan menimbulkan bencana lingkungan berupa kerusakan hutan, keanekaragaman hayati yang hilang, tanah longsor, banjir, pencemaran, dan lain-lainnya).
Pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya terdapat 2 (dua) titik ambang batas keberlanjutan yaitu:
a. Ambang batas keberlanjutan lingkungan, ditentukan oleh batasan daya serap pencemaran oleh lingkungan alam satu sisi, dan batas pengelolan sumber daya alam tanpa kerusakan serta degradasi lingkungan;
b. Ambang batas keberlanjutan sosial, ditentukan oleh batasan bagi terpeliharanya hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antara manusia dengan sesama manusia, antara manusia dengan masyarakatnya, dan antara sesama kelompok sosial di dalam dan diluar negeri. .
Kebijakan dalam pembangunan keberlanjutan lingkungan harus memperhatikan ambang batas di atas, yakni dengan melakukan studi kelayakan berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau (AMDAL) yang diatur pada PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan penataan ruang wilayah pembangunan. Dengan adanya Amdal ini akan bisa mengukur tingkat suatu proyek pembangunan itu sesuai dengan kelayakan lingkungan. Seberapa besar dampak pembangunan dan dampak yang akan di timbulkan sesuai dengan ambang batas .
Masalah di negeri ini adalah, banyak Amdal dibuat tidak sesuai dengan kondisi lingkungan, hal ini disebabkan pola penerapan yang salah selama ini, seharusnya Amdal dibuat dulu, baru izin pembangunan proyek keluar. Seperti dalam kasus lumpur lapindo Sidarjo. Bencana Lumpur yang ditimbulkan karena Menyalahi Amdal.. dan ironisnya semua pihak hanya bisa saling menyalahkan. Terbitnya UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, memberi harapan baru dalam pemberian sanksi bagi pembangunan yang tidak dilengkapi Amdal, oknum yang membuat Amdal tidak berkompenten atau tidak ada sertifikasi Amdal. hal ini untuk menutup praktek-praktek yang ada dalam pembuatan Amdal, bukan rahasia umum, bahwa Amdal yang dibuat hanya bersifat copy paste, sehingga riset terhadap pembangunan yang dilakukan tidak memenuhi standar kelayakan dalam proses pembangunan.
K. Peran Tata Ruang Dalam Pembangunan Kota Berkelanjutan
Terkait dengan pembangunan perkotaan, maka kota yang menganut paradigma pembangunan berkelanjutan dalam rencana tata ruangnya merupakan suatu kota yang nyaman bagi penghuninya, dimana akses ekonomi dan sosial budaya terbuka luas bagi setiap warganya untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun kebutuhan interaksi sosial warganya serta kedekatan dengan lingkungannya. Menurut Budimanta (2005), bila kita membandingkan wajah kota Jakarta dengan beberapa kota di Asia maka akan terlihat kontras pembangunan yang dicapai. Singapura telah menjadi kota taman, Tokyo memiliki moda transportasi paling baik di dunia, serta Bangkok sudah berhasil menata diri menuju keseimbangan baru ke arah kota dengamenyediakan ruang yang lebih nyaman bagi warganya melalui perbaikan moda transportasinya.

Perbedaan terjadi karena Jakarta menerapkan cara pandang pembangunan konvensional yang melihat pembangunan dalam konteks arsitektural, partikulatif dalam konteks lebih menekankan pada aspek fisik dan ekonomi semata. Sedangkan ketiga kota lainnya menerapkan cara pandang pembangunan berkelanjutan dalam berbagai variasinya, sehingga didapatkan kondisi ruang kota yang lebih nyaman sebagai ruang hidup manusia di dalamnya. Menurut Budihardjo (2005), rencana tata ruang adalah suatu bentuk kebijakan publik yang dapat mempengaruhi keberlangsungan proses pembangunan berkelanjutan. Namun masih banyak masalah dan kendala dalam implementasinya dan menimbulkan berbagai konfl ik kepentingan. Konflik yang paling sering terjadi di Indonesia adalah konflik antar pelaku pembangunan yang terdiri dari pemerintah (public sector), pengusaha atau pengembang (private sector), profesional (expert), ilmuwan (perguruan tinggi), lembaga swadaya masyarakat, wakil masyarakat, dan segenap lapisan masyarakat.

Konflik yang terjadi antara lain: antara sektor formal dan informal atau sektor modern dan tradisional di perkotaan terjadi konfl ik yang sangat tajam; proyek “urban renewal” sering diplesetkan sebagai “urban removal”; fasilitas publik seperti taman kota harus bersaing untuk tetap eksis dengan bangunan komersial yang akan dibangun; serta bangunan bersejarah yang semakin menghilang berganti dengan bangunan modern dan minimalis karena alasan ekonomi. Dalam kondisi seperti ini, maka kota bukanlah menjadi tempat yang nyaman bagi warganya. Kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan cenderung dikibarkan sebagai slogan yang terdengar sangat indah, namun kenyataan yang terjadi malah bertolak belakang.


Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret
Surakarta

Minggu, 19 Desember 2010

Sejarah Perencanaan Kota di Indonesia

Sejarah perencanaan kota di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah pendudukan kolonial Belanda yang berlangsung selama hampir 350 tahun. Pada tahap-tahap awal perkembangannya, kota-kota di Nusantara tidak memiliki basis perencanaan yang dapat dipelajari oleh generasi saat ini. Untuk menyebutkan sebuah “kota” pada masa pra-kolonial, berarti kota-kota kerajaan yang berkembang saat ini. Masalah yang terkait dengan urbanisasi sama sekali tidak pernah dicatat dan menjadikan sedikit sekali yang diketahui tentang perencanaan kota pra-kolonial.
Perencanaan sendiri merupakan preseden modern yang melibatkan kemampuan untuk mengatasi masalah melalui intervensi yang sifatnya teknis dan rasional. Hal ini semakin mengaburkan keberadaan perencanaan kota-kota kerajaan yang saat itu sebenarnya sudah muncul. Dalam konteks perencanaan kota saat itu, pengaruh kepercayaan terhadap Roh atau Kekuatan Alam menentukan pola pengaturan ruang masyarakat. Meskipun dapat ditelusuri bahwa pola pengaturan ini berkaitan erat dengan praktek kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat dan terkait pula dengan hirarki sosial yang terbentuk saat itu. Pola ruang ditentukan oleh pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap keseimbangan kekuatan alam dan roh. Raja, sebagai penguasa wilayah yang berada di kota, merupakan pusat dari kekuatan penyeimbang tersebut, sehingga menempati kedudukan sentral pada sebuah kota.
Dalam hal tersebut, perencanaan kota di Indonesia tidak diawali dari sesuatu yang disebut “masalah perkotaan”. Pengetahuan dan praktek lokal menentukan pola pengaturan ruang dalam upaya penyeimbangan antara kekuatan roh, alam, dan hubungan antarmanusia. Praktik seperti ini masih sangat kental untuk warga kota di Bali, meskipun diterapkan semakin terbatas karena pengaruh kapitalisme ruang yang tidak dapat dibendung.
Pada pengetahuan lokal tersebut, ruang diatur dengan pusat sentral di tengah-tengah kota. Ada elemen-elemen umum yang berada di pusat, seperti tempat kediaman raja, alun-alun, atau pasar. Di sekeliling dari pusat adalah rumah kediaman para pembantu raja yang kemudian menyebar ke seluruh bagian kota sebagai permukiman warga kota biasa.
Evers dan Korff (2000) menyebut adanya tiga tipe dari kota-kota di Asia Tenggara. Pertama adalah kota di pedalaman yang merupakan pusat pengaruh dari wilayah pinggiran yang tunduk karena kekuatan Ilahi dari penguasa yang berkediaman. Kedua, kota di pesisir yang berorientasi kepada perdagangan yang lebih terbuka dari berbagai tempat. Ketiga, adalah kota-kota kecil yang menjadi simpul perdagangan antara kota dagang dan kota-kota suci. Dalam bentuk yang paling awal, kota yang pertama muncul lebh banyak, sebelum perdagangan dengan daerah-daerah di seberang lautan semakin intensif, seperti kota-kota Islam awal. Ketika penjelajahan samudera oleh orang Eropa semakin sering dilakukan, maka kota-kota di pesisir (kota dagang) menjadi sasaran empuk bagi penguasaan ekonomi global. Hal ini perlahan-lahan mengurangi pengaruh kekuatan kota-kota di pedalaman (kota suci) yang semakin terputus interaksi ekonomi maupun dukungan atas pajak dan pengaruh politik. Perpindahan penduduk ke pesisir sama sekali tidak diantisipasi sebelumnya, sehingga tidak ada cara-cara sistematis untuk mencegah hal tersebut. Perencanaan kota pada kota-kota Nusantara pada tahal awal ini kurang mampu mengatasi peran strategis yang harus dimiliki sebuah kota.
Pergeseran kota-kota ke arah pesisir muncul seiring dengan interaksi dengan warga dari berbagai bangsa. Tumbuhnya kota-kota pesisir pada tahap awal dimulai oleh perdagangan antarbangsa yang kemudian menciptakan struktur penduduk baru yang didasarkan atas pola hubungan dagang. Penyebaran agama Islam yang intensif menciptakan pusat-pusat baru kekuasaan yang semakin mengurangi daya magis kekuasaan lama di pedalaman. Perubahan struktur penduduk ini menciptakan elemen-elemen penting sebuah kota, terutama untuk mendukung kehidupan kota. Dibangunnya elemen-elemen utama, seperti pelabuhan, masjid, dan pasar yang lebih besar merupakan tanggapan atas perkembangan baru saat itu. Dalam banyak hal, “perencanaan” masih belum muncul dalam masyarakat Nusantara yang tengah berubah pesat dalam bidang ekonomi ini.
Masuknya penjajah kolonial dimulai dari kota-kota yang menjadi pusat perdagangan utama. Batavia adalah salah satunya. Elite kota adalah orang-orang Belanda wakil VOC. Urbanisasi, meskipun dalam taraf yang masih rendah, memberikan tekanan terhadap kota yang multikultural. Persoalan yang dihadapi oleh pemerintah kolonial untuk menjaga kepentingannya adalah melalui pengaturan ruang kota yang membagi lahan-lahan di dalam kota untuk kelompok-kelompok bangsa. Hal ini digambarkan oleh Karsten dengan kondisi perumahan orang-orang Eropa yang tinggal di rumah-rumah ‘India Kuno’ yang besar dan luas dengan pekarangan yang terhampar. Kampung-kampung dideskripsikan dengan lingkungan yang sangat luas, tetapi bangunannya tetap primitif dan tidak tertata. Sejumlah kebun berada di atas tanah kosong ini. Areal kampung ini mencerminkan karakter desa yang sangat kental. Sementara itu, orang China diharuskan untuk tinggal di dalam kamp China yang didirikan bersama dengan orang Belanda pada abad ke-17 dan 18, dengan fasilitas yang luas. Golongan kolonial yang kurang beruntung tinggal di koridor jalan utama maupun di kawasan kota lama. Inilah adalah bentuk pengaturan awal yang muncul dari tata kota.
Dilihat dari struktur ruang, tidak ada perubahan berarti dibandingkan dengan struktur ruang tradisional yang diambilkan dari kota-kota Jawa. Kota Batiavia dibangun dengan jalan besar yang melingkari kota dan dilengkapi dengan alun-alun yang luas. Sama halnya dengan Bandung yang baru dipindahkan dari Dayeuh Kolot (untuk dijadikan pusat pemerintahan dan mengatasi persoalan banjir di Citarum) dirancang dengan pusat pemerintahan dan agama yang mengelilingi alun-alun, dengan tempat tinggal penduduk biasa berkelompok di sekitarnya. Lorong-lorong kecil menembus kawasan pusat dengan bagian kiri dan kanan berpagar rangkaian bamboo. Jalan-jalan diperkeras dengan pecahan batu atau kerikil yang ditimbris sehingga dapat digunakan untuk berjalan. Rumah-rumah berjarak satu dengan yang lainnya sehingga menyediakan ruang untuk kebun dan pohon.
Pemisahan ruang masih merupakan ciri dari kota kolonial, yang terutama didasarkan atas kebangsaan. Orang-orang pribumi menempati bagian selatan beserta alun-alun, Mesjid Agung, yang dibangun dengan biaya pemerintah tahun 1850, beserta rumah bupati dan jabatan penting pribumi. Sementara itu, di bagian utara ditempati oleh orang-orang Eropa, termasuk Asisten Residen. Pengaturan ini, oleh Voskuil (2006) didasarkan terutama oleh tingkat kesejahteraan, namun lebih mencerminkan segregasi spasial. Kini, di permukiman utara pun masih ditemukan adanya kantong-kantong permukiman miskin baru.
Salah satu tonggak penting dalam pengelolaan kota di Indonesia adalah munculnya undang-undang desentralisasi yang memungkinkan pemerintah kota mengatur urusan kotanya sendiri. Kota-kota di Indonesia kemudian memberlakukan peraturan bangunan, seperti Bataviasche Plannerorderning 1941, Bataviasche Bestemingkringe en Bouwtypenverordening 1941, dan Bataviasche Bouwverordening 1919 – 1941. Semua peraturan tersebut masih berorientasi kepada fisik kota. Dengan perhatian Thomas Karsten tahun 1920 dalam laporan Town Planning in Indonesia, maka terbentuk Komite Perencanaan Kota oleh pemerintah kolonial yang menghasilkan RUU tentang perencanaan kota pertama di Indonesia yang kemudian menjadi SVV dan SVO.
Kota-kota paska-kemerdekaan adalah kota-kota besar yang menjadi tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan nasional. Kota-kota ini mengalami pertumbuhan yang pesat karena migrasi masuk. Selain itu, terjadinya baby boom yang turut melanda Indonesia paska-Perang Dunia Kedua. Pada saat tersebut, kondisi infrastruktur masih kurang baik. Rencana Lima Tahun Pertama (1956 – 1960) dibuat, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Komite Perencanaan Nasional. Komite ini membuat Rencana Pembangunan Delapan Tahun (1961 – 1968). Kedua rencana tersebut sangat ambisius dengan tidak memperhatikan ketersediaan dana dan daya dukung ekonomi. Masalah yang dihadapi kota-kota di Indonesia adalah bidang ekonomi yang ditandai dengan tingkat inflasi tinggi. Pembangunan infrastruktur pun direncanakan sebagai bagian dari unjuk kekuatan ekonomi Indonesia yang sebenarnya sangat rapuh oleh Presiden Soekarno, sebagai simbol New Emerging Forces of the World (Winarso, 1999).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, dengan gaya kepemimpinan nasional yang lebih rasional, maka disusun perencanaan yang sifatnya bertahap atau dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun. Namun, kota-kota masih belum menjadi fokus dari kebijakan di dalamnya. Pada tahun 1970, rencana pada tingkat regional muncul dengan Rencana Jabotabek yang diikuti dengan perencanaan-perencanaan untuk proyek khusus yang didanai oleh lembaga-lembaga internasional. Salah satunya adalah KIP (Kampong Improvement Programme) yang dilaksanakan pada akhir tahun 1970-an.
Secara sistematis, kelembagaan perencanaan diwujudkan mulai dari level nasional hingga ke daerah (BAPPEDA). Dengan adanya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah, perencanaan daerah berkembang menjadi kewajiban bagi daerah dalam penyelenggaraannya.
Pada tahu 1980, Nasional Urban Development Strategy berhasil dirumuskan. Tahun ini adalah tonggak bagi perencanaan spasial yang mengambil gagasannya dari gaya perencanaan di Inggris (Winarso, 1999). Mengintegrasikan rencana pengembangan dan perencanaan fisik menjadi bagian dari program IUIDP (Integrated Urban Infrastructure Development Program). IUIDP dapat dikatakan berhasil untuk mengintegrasikan investasi publik untuk meningkatkan produktivitas kota dan mengarahkan investasi swasta. Pada tahun 1992, lahir UU No. 24 Tahun 1994 tentang Penataan Ruang yang lebih tegas mengarahkan perencanaan pada berbagai tingkatan dan menciptakan integrasi ruang antartingkatan tersebut. Meskipun sangat kental bercorak top-down, lahirnya UU tersebut mempengaruhi praktek perencanaan di Indonesia berikutnya. Lahirnya PP No. 69 Tahun 1996 tidak banyak berpengaruh terhadap pendekatan perencanaan yang lebih partisipatif karena perencanaan belum mampu mengikutsertakan masyarakat ke dalam bentuk paritisipasi yang lebih nyata, ketimbang sekedar informasi dan konsultasi.
Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang sangat berat. Kota-kota mengalami masalah akut terkait mandegnya investasi dan kondisi perekonomian warga. Dalam kondisi yang demikian, kota-kota besar justru tidak dapat diharapkan dalam mengatasi kecenderungan terhadap penurunan kualitas kota-kota di Indonesia. Gaya perencanaan yang cenderung top-down dengan menempatkan kota-kota utama sebagai motor penggerak ekonomi ternyata tidak berhasil. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan perencanaan spasial yang demikian telah mengalami kegagalan, yang kemudian memberikan pelajaran berharga dalam menyusun UU Penataan Ruang yang baru (yang dimaksud adalah UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). UU Pemerintahan Daerah yang dikeluarkan tahun 1999 yang kemudian direvisi di dalam UU No. 32 Tahun 2004, memberikan ketegasan tentang kewenangan pemerintah daerah dalam kerangka otonomi. UU NO. 32 Tahun 2004 memungkinkan pengelolaan kota yang dilakukan bersama antardaerah otonom.
Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 memberikan peluang bagi pendekatan-pendekatan yang berbeda untuk muncul ke permukaan. Pendekatan didasarkan atas potensi dan kendala yang dihadapi oleh kota-kota, baik itu fisik, ekonomi, dan budaya. Selain itu, secara hubungan spasial antara wilayah tidak lagi didominasi hubungan antara pusat – pinggiran, melainkan berkembangkan menjadi hubungan-hubungan yang sifatnya lebih self-sustai dengan memperhatikan peluang pasar ke luar. Disini, perencanaan spasial menjadi bersifat strategis, ketimbang memperkuat hubungan ‘tradisional’ kota dengan wilayah sekitarnya sebagai hubungan pusat – pinggiran.
Dibalik perencanaan kota yang disebut mainstream (formal) pengaruh-pengaruh perencanaan yang berkembang di dunia barat pun turut mempengaruhi gagasan perencana di Indonesia. Beberapa perencana bergerak di bidang advokasi dan pendampingan masyarakat yang memungkinkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi kebijakan publik. Mereka ini bergabung ke dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Meskipun demikian, praktek-praktek ini pun tidak dapat dilepaskan dari “pesanan” organisasi-organisasi internasional yang menginginkan perubahan dalam demokrasi masyarakat Indonesia yang tengah mengalami transisi.
Dari rangkaian praktek dan pengetahuan perencanaan yang terakumulasi di atas, kita melihat perkembangan perencanaan kota di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kehadiran penjajah kolonial di bumi Nusantara. Secara indigenous, perencanaan kota yang disebut ‘Indonesia’ hampir tidak tidak muncul ke permukaa. Perencanaan seringkali diarahkan oleh inovasi perencanaan yang berkembang di dunia Barat. Meskipun demikian, paska-kemerdekaan perkembangan perencanaan sangat pesat dan masih belum jelas arah dari perencanaan kita pada masa mendatang. Semecam otokritik perlu dialamatkan, bahwa dari pengalaman selama ini sekolah perencanaan seakan menjadi persiapan untuk menjadi birokrat (Winarso, 1999), sehingga kurang memberikan gambaran tentang perencanaan kota yang benar-benar dibutuhkan selama ini dalam teori dan praktek. Tentu saja, dengan demikian, tidak dapat diharapkan untuk meramalkan wajah perencanaan pada masa depan. Praktek-praktek yang berkembang di luar jalur formal tersebut seringkali menjadi good practice yang belum terlembagakan dengan baik ke dalam sistem perencanaan kita, seperti perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) oleh Johan Silas dan Hasan Poerbo.

Sejarah Perencanaan Kota
Walaupun pada konteks sejarah kota, banyak literatur yang mengatakan kota-kota yang dibangun pada awal sejarah peradaban tidak direncanakan, namun di sisi lain banyak juga yang berpendapat bahwa pemimpin dan masyarakat pada masa tersebut telah bersentuhan dengan aspek perencanaan dalam pembangunan kota dan permukimannya. Dijelaskan oleh Smith (2007), kota yang direncanakan selalu diidentikkan dengan bentuk orthogonal sehingga kota yang jauh dari kesan tersebut dianggap tidak direncanakan. Anggapan tersebut kemudian tidak lagi menjadi sebuah pandangan ketika melihat perencanaan kota bukan pada dikotomi direncanakan dan tidak direncanakan yang pada akhirnya melihat perencanaan hanya pada bentuk spasialnya saja. Tetapi yang perlu dikaji lebih jauh dari kota-kota pada awal peradaban tersebut adalah adanya keragaman bentuk perencanaan sebagai bagian dari visi kebijakan politik dalam usaha produktivitas kawasan. Karena pada dasarnya kota dibangun dengan latar belakang berbeda-beda dengan bentuk beragam sesuai dengan fungsi-fungsi yang terdapat di kota tersebut.3
Kemudian oleh Smith (2007), perencanaan yang terdapat di dalam perkembangan kota-kota di awal peradaban tersebut dibagi ke dalam 2 (dua) komponen yaitu:
1. koordinasi antara bangunan dan ruang di dalam kota yang didasarkan pada: (1) penataan bangunan, (2) formalitas dan monumentalitas dari layout, (3) derajat orthogonal, (4) bentuk-bentuk lain geomatri, dan (5) akses serta derajat kenampakan;
2. standarisasi kota yang didasarkan pada: (1) ide-ide arsitektural kota, (2) pola spasial, (3) orientasi dan metrology.4
Parameter-parameter tersebut bertahan hingga masa Revolusi Industri pada abad ke-18. Namun, dengan perubahan besar yang terjadi dalam kehidupan masyarakat paska Revolusi Industri telah mengubah paradigma dalam perencanaan kota. Pertumbuhan penduduk yang meningkat tajam terutama di kota-kota industri di dunia secara langsung telah mengubah bentuk ruang kota, tidak hanya lebih meluas tetapi juga mengalami degradasi lingkungan. Timbulnya kesemrawutan dalam perkembangan ruang yang terjadi merupakan implikasi besar dari pertumbuhan dan perkembangan kegiatan ekonomi dunia. Ekonomi tidak lagi digerakkan pada kegiatan pertanian dan juga industri manual yang hanya memiliki ruang lingkup kecil. Tetapi ekonomi telah digerakkan oleh kegiatan industri massal skala besar yang kemudian menjadikan kota sebagai pusatnya. Ketika orientasi ekonomi dunia mengarah pada industri-industri besar yang ada di kota maka kegiatan pertanian yang selama ini masih masih menjadi mayoritas komoditas ekonomi kemudian beralih. Pekerja industri menjadi sebuah mata pencaharian baru. Migrasi ke kota atau yang kemudian disebut sebagai urbanisasi adalah sebuah fenomena besar yang pada akhirnya, sampai saat ini, menjadi sangat umum terjadi dalam merespon sebuah peluang ekonomi baru yang dirasa banyak terdapat di kota. Hal tersebut turut pula didukung oleh perkembangan pemikiran-pemikiran baru baik dalam aspek sosial maupun ekonomi. Ketika kapitalisme sangat mendukung perkembangan pesat ekonomi indutri maka kemudian muncul sosialisme sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang terjadi. Secara normatif kemudian banyak bermunculan konsep-konsep perencanaan yang mencoba mengakomodir dan mengantisipasi kemajuan peradaban manusia tersebut.
Bisa dibayangkan ketika kota tidak lagi sebuah entitas yang berpenghunikan ribuan orang tetapi telah berubah menjadi ratusan ribu orang bahkan berjuta-juta orang. Pun tidak hanya sekedar kuantitas penduduk yang berkembang tetapi juga kegiatan yang berlangsung di kota tersebut. Mekanisasi yang menggerakkan sektor industri telah merubah seluruh komponen kota. Tidak lagi kuda-kuda dengan gerobaknya yang akan mengangkut hasil-hasil produksi. Tetapi telah berkembang menjadi kereta api yang pada perkembangan selanjutnya kota kemudian penuh dengan mobil dan motor sebagai sarana pengangkut. Ketika kota telah menjadi sebuah tumpuan ekonomi kesejahteraan bagi para penduduknya yang kian bertambah, maka tak ayal lagi kota diharuskan dapat mendukung segala perkembangan yang ada. Konsekuensi yang dibutuhkan tentu adalah kebijakan terhadap pertumbuhan dan perkembangan kota itu sendiri. Tidak dalam kerangka kota secara individual saja tetapi kemudian melibatkan bahkan kemudian membentuk sebuah interaksi dengan kawasan-kawasan sekitarnya.
Nilai-nilai perencanaan sendiri berkembang dengan akar yang telah ada sejak kota-kota pada awa peradaban. Akar pertama menilik dari sisi administratif dan manajerial yang berusaha menyediakan kebutuhan bagi para komunitas kota terhadap pelayanan-pelayanan publik. Air minum, sanitasi, drainase, dan komunikasi. Perkembangan yang terjadi saat ini, pelayanan-pelayanan publik tersebut menjadi semakin luas dan kompleks karena tidak lagi menjangkau area kota dengan luas yang relatif kecil tetapi menjadi area perkotaan yang jauh lebih luas dengan konsentrasi penduduk yang jauh lebih tinggi. Akar kedua perencanaan berhubungan dengan aspek fisik kawasan yang terkait dengan penggunaan lahan, jaringan transportasi, dan pembangunan proyek skala besar. Sejak awal mula kota dibangun, aspek pembagian lahan yang kemudian membagi kawasan berdasarkan kelas ataupun kegiatannya memang telah terjadi. Bahkan saat ini hal tersebut semakin penting untuk dilakukan sebagai bentuk regulasi yang dapat mengontrol pertumbuhan kota.5
Profesi perencana sendiri pada awal mulanya berasal dari latar belakang yang erat kaitannya dengan desain. Konsep yang pada saat itu muncul adalah bentuk dari respon mereka terhadap kondisi kota paska Revolusi Industri yang mengalami degradasi sosial dan lingkungan. Utopianisme merupakan sebuah konsep kota yang memadukan keberhasilan industrialisasi di satu sisi dengan sebuah konsep desain tata ruang yang ideal. Sebut saja Ebenezer Howard, Le Corbusier, Frank Lloyd Wright, Lewis Mumford, dan Clarence Stein yang memberikan pengaruh besar pada dunia perencanaan kota hingga saat ini dengan konsep kota yang mereka ciptakan. Walaupun terdapat sebagian pandangan yang menyebutkan bahwa konsep perencanaan dengan latar belakang utopianisme merupakan konsep yang tidak responsif terhadap perubahan dan menghalangi masyarakat untuk menjadi responsif.6
Kota digambarkan tidak lagi humanis akibatkan perkembangan ekonomi yang terjadi, di mana pertumbuhan ekonomi tidak secara linier menggambarkan pula tingkat kesejahteraan penduduknya. Munculnya kaum miskin kota yang notabene adalah para pekerja industri dan merupakan mayoritas penduduk kota pada masa tersebut tentu menjadi sebuah hal yang menarik ketika dikaitkan dengan hal-hal lain yang menyertainya. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain urban sprawl akibat munculnya permukiman kumuh, kesehatan masyarakat yang semakin menurun akibat kondisi drainase dan sanitasi yang buruk, tingkat polusi yang tinggi, dan ketiadaan pada akses kesehatan, serta menurunnya kondisi lingkungan akibat peningkatan polusi udara dan air. Tidak hanya secara fisik permasalahan ini nampak tetapi juga timbulnya ketidakseimbangan sistem sosial yang muncul akibat peningkatan kegiatan yang tidak dapat mensejahterakan masyarakat secara luas bahkan kemudian memunculkan kesenjangan yang cukup besar terhadap para pemilik modal dengan para pekerjanya.7
Dengan semakin berkembangnya isu yang terjadi dalam perencanaan kota, perencanaan kemudian tidak lagi sekedar sketsa perencanaan yang bersifat normatif tetapi kemudian secara nyata melibatkan berbagai disiplin ilmu untuk ikut memecahkan permasalahan yang ada. Mulai tahun 1928, ilmu-ilmu sosial mulai berkontribusi dalam dunia perencanaan. Kemudian pada era 1950 dan 1960, ilmu-ilmu ekonomi mencoba memberikan solusi terhadap permasalahan kesejahteraan dan metode-metode dalam pengambilan kebijakan dalam perencanaan8. Disiplin-disiplin ilmu tersebut menjadi perhatian penting terutama menyangkut penyediaan pelayanan perkotaan yang bersifat esensial. Pada era inilah kemudian perencanaan dalam konteks regional menjadi penting karena perencanaan semakin bersentuhan dengan pertumbuhan perkotaan, tidak lagi kota secara individual, yang semakin luas dan cepat, kepadatan yang semakin tinggi di area perkotaan, kegiatan yang semakin kompleks, dan kesenjangan yang semakin tinggi, baik di internal sebuah kota, maupun dalam hubungannya dengan wilayah lain sekitarnya. Oleh karena itu perencanaan regional berusaha menjadi solusi dalam kebijakan-kebijakan alokasi sumberdaya yang dapat memberikan efek positif terhadap pertumbuhan sebuah wilayah yang pada akhirnya kesejahteraaan dapat meningkat sekaligus ketimpangan wilayah dapat direduksi.

Jumat, 17 Desember 2010

Gunung Kidul sebagai Kawasan Pariwisata Eko-Karst

A. Keadaan Geografis
Kabupaten Gunungkidul adalah salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan Ibukotanya Wonosari. Luas wilayah Kabupaten Gunungkidul 1.485,36 km2 atau sekitar 46,63 % dari luas wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kota Wonosari terletak di sebelah tenggara kota Yogyakarta (Ibukota Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta), dengan jarak ± 39 km. Wilayah Kabupaten Gunungkidul dibagi menjadi 18 Kecamatan dan 144 desa.
Letak geografi :
110O 21'sampai 110O 50' Bujur Timur dan
7O 46'sampai 8O 09' Lintang Selatan.
Batas Wilayah Kabupaten Gunungkidul:
Sebelah Barat : Kabupaten Bantul dan Sleman (Propinsi DIY).
Sebelah Utara : Kabupaten Klaten dan Sukoharjo (Propinsi Jawa Tengah).
Sebelah Timur :Kabupaten Wonogiri (Propinsi Jawa Tengah).
Sebelah Selatan : Samudera Hindia
B. Potensi Karst di Gunung Kidul
Kabupaten Gunungkidul memiliki topografi karst yang terbentuk oleh proses pelarutan batuan kapur. Bentang alam ini dikenal sebagai Kawasan Karst Pegunungan Sewu yang bentangnya meliputi wilayah kabupaten Gunungkidul, Wonogiri dan Pacitan.
Kabupaten Gunungkidul memiliki luas kawasan karst 13.000 km². Bentang alam kawasan karst Gunungkidul sangat unik, hal tersebut dicirikan dengan adanya fenomena di permukaan (eksokarst) dan bawah permukaan (endokarst). Fenomena permukaan meliputi bentukan positif, seperti perbukitan karst yang jumlahnya ± 40.000 bukit yang berbentuk kerucut. Bentukan negatifnya berupa lembah-lembah karst dan telaga karst.
Karst adalah suatu kawasan yang memiliki karakteristik relief dan drainase yang khas, terutama disebabkan oleh derajat pelarutan batu-batuannya yang intensif. Batu Gamping merupakan salah satu batuan yang sering menimbulkan terjadinya karst.
Fenomena bawah permukaan meliputi goa-goa karst (terdapat 119 goa) dengan stalaktit dan stalakmit, dan semua aliran sungai bawah tanah. Karena keunikan ekosistemnya, maka tahun 1993 International Union of Speleology mengusulkan agar Kawasan Karst Pegunungan Sewu masuk ke dalam salah satu warisan alam dunia.
Keunggulan tersebut menjadi model yang besar bagi Kabupaten Gunungkidul untuk mengembangkan pariwisata melalui pengelolaan potensi daerah dengan prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan. Sehingga pada tanggal 6 Desember 2004 di Kabupaten Gunungkidul Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan wilayah Gunung Sewu dan Gombong Selatan sebagai kawasan Eko karst.
Sumberdaya Pariwisata Karst Kabupaten Gunungkidul banyak ragamnya dan memiliki keunikan serta nilai ilmiah tinggi baik berupa pantai pasir putih yang telah berkembang sebagai wisata masal (mass tourism), wisata minat khusus petualangan seperti panjat tebing (di Pantai Siung, Seropan dan Watu Gupit), susur goa (Cerme, Seropan, Bribin, Grubug, Jomblang dan Kalisuci). Wisata sejarah dan religius (Goa Rancang Kencono, Goa Braholo dan Goa Maria Tritis).

1. Lembah Karst Mulo
Secara administrasi obyek geowisata karst Lembah Mulo terletak di desa Mulo Kecamatan Wonosari, dan dapat dicapai dengan mudah hanya berjarak 5 km dari kota Wonosari.
Lembah Mulo merupakan salah satu obyek amatan karst yang unik karena merupakan bentukan depresi (lembah) dalam ukuran cukup luas yang mengalami runtuhan ratusan tahun lalu. Kawasan ini merupakan kawasan yang ideal untuk dijadikan Centre of Geotourism Activities Kawasan Karst Gunungkidul, karena selain unik juga dari sisi aspek keruangan sangat strategis yaitu berada di jalur utama wisata Kabupaten Gunungkidul dan terletak di zona tengah kawasan karst Gunungkidul.
2. Kalisuci
Terletak di Desa Pacarejo Kecamatan Semanu, dengan jarak 12 km dari Wonosari. Keunikan yang dijumpai adalah fenomena bentukan bentang alam, karst permukaan berupa bentukan depresi yang runtuh yang membentuk goa-goa vertikal dan bentukan positif berupa bukit karst berbentuk kerucut, sedangkan bawah permukaan berupa aliran sungai bawah tanah yang mengalir melalui goa-goa horisontal yang merupakan suatu sistem aliran sungai bawah tanah yang saling berhubungan satu-sama lain di kawasan karst Gunungkidul.
Di kawasan ini wisatawan dapat melakukan aktivitas susur goa dengan menggunakan peralatan khusus seperti perahu karet, tali, dan lain-lain. Wisatawan juga dapat menikmati keindahan goa kalisuci dengan stalaktit dan stalakmit, keindahan dan kesejukan yang menyatu serta petualangan yang penuh tantangan.
3. Telaga Suling / Bengawan Solo Purba
Terletak di desa Songbanyu dan desa Pocung, Kecamatan Girisubo, dengan jarak sekitar 50 km dari kota Wonosari. Telaga Suling berupa lembah yang letaknya dekat dengan Pantai Sadeng.Telaga Suling diyakini pada zaman dulu sebagai muara sungai Bengawan Solo purba dengan pemandangan yang indah dan sejuk karena dikelilingi bukit-bukit.
Di lokasi ini sangat cocok untuk kegiatan tracking atau jelajah wisata. Dalam perjalanan menuju Pantai Sadeng, jalur aliran sungai Bengawan Solo purba bisa dinikmati pemandangannya. Bekas aliran tersebut berupa dataran rendah yang diapit dua perbukitan tinggi, yang kini menjadi lahan pertanian, sejauh 7 km ke arah utara hingga wilayah Pracimantoro Kabupaten Wonogiri.



Testianto Hanung F.P
Perencanaan Wilayah dan Kota
Universitas Sebelas Maret
Surakarta

Sabtu, 06 November 2010

PLANO IN ACTON

Ayo temen- temen mahasiswa PWK pada khususnya dan temen - temen jurusan lain universitas se-Jateng DIY.
Ikuti PLANO IN ACTION "City For All" dengan tema pemberdayaan masayarakat informal.
Kegiatannya ada lomba paper, lomba fotografi, seminar regional dan festival plano. Dijamin pameran, acaranya, hadiah, doorprize yang menarikdan pembicara seminar yang tak kalah hebatnya..,.,.
Diselenggarakan oleh Dept. Pendidikan dan Penalaran Himpunan Mahasiswa Perencanaan Wilayah dan Kota UNS
Info selengkapnya di FB:  planouns@gmail.com dan email : planoinaction@yahoo.com
                                FB: impikorwil_jatengdiy@yahoo.com
                                website : www.impijatengdiy.com

PLK SEROJA (kelompok 3)

Pada hari Rabu tanggal 27 Oktober 2010, saya dan teman - teman kembali bertugas di PPAP SEROJA. Pada pukul 9 pagi kami berangkat bersama- sama dari UNS.
Sesampai disana, kami disambut oleh anak - anak seroja dengan meriah. Pada saat itu jadwal PLK adalah belajar IPA dan membuat buga - bunga lampion dari kertas lipat.
Pertama - tama, saya mengajar anak yang bernama Marsono belajar IPA. Marsono dan teman - teman disuruh membaca terlebih dahulu kemudian menjawab pertanyaan berupa pilihan ganda tersebutdia mengerjakan pilihan ganda setelah diberi penjelasan mengenai materi dulu di awalnya. Materi yang dipelajari mengnai erosi dan abrasi. Mereka terlihat bingung dalam mempelajarinya, tetapi kami kencoba membantu mereka supaya mereka bisa memahami dan menjawab pertanayan - pertanyaan tersebut.

Setelah belajar, kami lalu membuat lampion bunga. Saya belum mengerti bagaimana cara membuatnya. Kemudian saya pun tanya ke mbak ayu sebagai pembimbing di PLK. Setelah mengerti, saya bersama temn - teman lain ikut membuat lampion bunga tersebut. Begitu pula dengan marsonodan anak lainnya. Mereka terlihat sangat asyik membuat lampion berbentuk bunga dari kertas yang berwarna - warni. Masing - masing warna hartus terdapat lima buah bunga. Setelah bunga - bung tersebut jadi, lalu ditempelkan dari lima bunga dirangkai menjadi satu bunga. Dan satu warna yang terdiri dari lima bunga tersebut kemudian ditempelkan pula dengan warna yang lain danjumlah yang sama. Dan jadilah sebuah lampion bunga yang sangat indah. Itu menjadi berkesan buat saya, karena selain dapat menhibur anak - anak jalanan tersebut, saya juga dapat belajar mambuat lampion berbentuk bunga.

Setelah itu, merka kemudian bermain - main. Ada beberapa anak yang sangat usil dan jahil sekali. Merekaada yang menendang, mencakar, meminta gendong, dll. Kita bisa maklum karena mereka kelihaan sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang yang lebih. Walaupun mereka nakal, tapi saya dan teman - teman - teman sangat senag sekali karena dapat menghibur mereka.

Setelah selesai kira - kira pukul 12.00, saya dan teman - teman pamit untuk pulang. Mereka sangat menunggu kedatangan kami untuk kembali ke PPAP SEROJA lagi.

Kamis, 14 Oktober 2010

Kerja Sosial di PPAP Seroja (Kelompok 3)

Hari Rabu13 Oktober 2010, kami mahasiswa PWK UNS 2009 akan mengunjungi PPAP Seroja pada pukul 10.00 WIB.PPAP Seroja terletak di kecamatan Jebres Surakarta. Lembaga tersebut ikut membantu dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan hukum bagi anak jalanan dan wanita yang terlantar.  Kerja Sosial ini merupakan tugas dari mata kuliah Sosiologi Perkotaan dan dibagi mejadi beberapa kelompok.  Kami kebetulan  mendapat kelompok 3 yang mengurus bidang Pendidikan Layanan Khusus di PPAP Seroja. Anggota kelompok kami adalah saya sendiri, Testianto Hanung Fajar Prabowo, Dedy Syarifudin, dan Meryani Ranggi Dewi akan melaksanakan tugasnya untuk membantu para anak jalanan dan terpinggirkan untuk dapat belajar dan berpikit secara kreatif untuk masa depan mereka. Kebetulan pula ada dua kelompok lagi yang ikut datang membantu karena waktu tugas kami yang bersamaan. Jadilah dengan tiga kelompomk dan sekitar 15an mahasiswa PWK UNS 2009 datang pada hari itu juga di PPAP Seroja.

Pada waktu pertama kali datang, PPAP Seroja sedang mendapatkan kunjungan dari UNICEF. Pihak UNICEF sengaja datang untuk mengetahui kondisi lembaga Seroja dan untuk mengetahui kondisi anak jalanan dan wanita terlantar yang sedang berada di lembaga tersebut. Para anak - anak yang sedang asyik menonton film tak menghiraukan kedatangam mereka. Bahkan untuk diambil fotonya pun tak mau. Pada saat itu juga kami berkenalan dengan anak - anak tersebut. Namanya antara lain Marsono dan Imam. Marsono berusia sekitar 11 tahun dan Imam berusia sekitar 6 tahun. Mereka bertempat tinggal di sekitar Stasiun Jebres dan sehari - hari mereka mengamen di daerah Panggung Jebres Surakarta. Mereka rutin datang tiap hari senin, rabu, dan jumat. Mereka ada yang datang sendiri atupun ada yang dijemput oleh para pendidik di Seroja. Ada kegitan menarik yang akan dilakkukan oelh mereka, yaitu akan membuat sandal lucu berbentuk kartun (yang dijual di toko - toko itu lho :-).......)

Setelah menonton film, mereka berkumpul di teras untuk membuat sandal lucu yang akan dibimbing oleh pendidik mereka antara lain mbak Ayu dan mas Sigit. Pertama kali mereka diberi gambar pola sandal berbentuk kartun. Gambar tersebut lucu - lucu, ada yang berbentuk doraemon, hamtaro, smile, pingun, dll. Kami pun ikut membantu mereka. Saya dan dedy membantu Marsono dan Mery bertugas sebagai dokumentasi kegiatan kami. Pertama, kami memotong pola sesuai ukuran gambar. Marsono menginginkan gambar smile. Setelah kami potong, kami tempelkan di gabus 1 berwarna hijau. Mulut dan matanya kami tempelkan gabus berwarna hitam lalu digabungkan jadi satu. Kemudian kami tempelkan gabus hitam yang agak tebal utnuk lapisan di bawahnya. Kami memotong agak kesulitan karena cukup tebal gabusnya serta butuh lem banyak supaya rekat. Kemudian kami mengukur kaki Marsono untuk jepitan sandaklnya agar sesuai. Kami agak kesulitan untuk memotong dan memasukkan jepitan sandalnya ke ke dalam bagian dalam sandal karena ukuran sandalnya ternyata kekecilan... he....... (maaph).... ^^v
Tetapi setelah diolah, dilihat, diperbaiki akhirnya pas dan cukup juga untuk kaki Marsono.
Dan setelah ditempelkan dasarannya, ternyata jadi juga sandal lucu berbentuk smile.,.,...
Marsono yang hanya sedikit membantu pun akhirnya senang juga setelah berdebat sengit. he.....

Pukul 12.30 kami selesai dan berpamitan pulang. Mereka pun juga ikut pulang dengan diantar oleh mobil PPAP Seroja. Pengalaman pertama membuat sandal yang menyenangkan.. haha......