Jumat, 25 Mei 2012

Riwayat Perkembangan Kota Surakarta 1. Toponomi Kota Surakarta Kota Surakarta yang juga dikenal sebagai Kota Solo memiliki semacam keunikan tersendiri dengan adanya dua cara penamaan terhadap eksistensi kota tua ini. Nama ‘Solo’ diambil dari nama tempat bermukimnya pimpinan kuli pelabuhan, yaitu Ki Soroh Bau (bahasa Jawa, yang berarti kepala tukang tenaga) yang berangsur-angsur terjadi pemudahan ucapan menjadi Ki Sala atau Ki Ageng Sala, yang berada disekitar Bandar Nusupan semasa Kadipaten dan Kerajaan Pajang (1500-1600). Lokasi Bandar Nususpan itu kemudian disebut Desa Sala dan kemudian sekarang lokasi tersebut dikenal dengan Kota Solo. Sementara nama ‘Surakarta’ diambil dari nama dinasti Kerajaan Mataram Jawa yang berpindah dari Kraton Kartasura pada tahun 1745. Perpindahan kraton dilakukan oleh Raja Paku Buwono II karena Kraton Kartasura sudah hancur akibat peperangan dan pemberontakan yang terkenal dengan Geger Pecinan tahun 1742. Akhiran -karta merujuk pada kota, dan kota Surakarta masih memiliki hubungan sejarah yang erat dengan ‘Kartasura’ 2. Sejarah Kota Surakarta Sejarah kelahiran Kota Surakarta dimulai pada masa pemerintahan Raja Paku Buwono II di keraton Kartasura. Pada masa itu terjadi pemberontakan Mas Garendi (Sunan Kuning) dibantu kerabat-kerabat Keraton yang tidak setuju dengan sikap Paku Buwono II yang mengadakan kerjasama dengan Belanda. Salah satu pendukung pemberontakan ini adalah Pangeran Sambernyowo (RM Said) yang merasa kecewa karena daerah Sukowati yang dulu diberikan oleh keraton Kartasura kepada ayahandanya dipangkas. Karena terdesak, Paku Buwono mengungsi kedaerah Jawa Timur (Pacitan dan Ponorogo). Dengan bantuan pasukan Kumpeni dibawah pimpinan Mayor Baron Van Hohendrof serta Adipati Bagus Suroto dari Ponorogo pemberontakan berhasil dipadamkan. Setelah tahu keraton Kartasura dihancurkan Paku Buwono II lalu memerintahkan Tumenggung Tirtowiguno, Tumenggung Honggowongso, dan Pangeran Wijil untuk mencari lokasi ibu kota Kerajaan yang baru. Pada tahun 1745, dengan berbagai pertimbangan fisik dan supranatural, Paku Buwono II memilih desa Sala – sebuah desa di tepi sungai Bengawan Solo – daerah yang terasa tepat untuk membangun istana yang baru. Sejak saat itulah, desa sala segera berubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Melihat perjalanan sejarah tersebut, nampak jelas bahwa perkembangan dan dinamika Kota Surakarta pada masa dahulu sangat dipengaruhi selain oleh Pusat Pemerintahan dan Budaya Keraton (Kasunanan dan Mangkunegaran), juga oleh kolonialisme Belanda (Benteng Verstenberg). Sedangkan pertumbuhan dan persebaran ekonomi melalui Pasar Gedhe (Hardjonagoro). Hingga sekarang pusat – pusat pertumbuhan kota Surakarta masih berada di kawasan Gladak, yaitu berada di sekitar keraton Kasunanan, benteng Vastenburg, dan pasar Gedhe. Namun benteng Vastenburg samapai sekarang kondisinya masih memprihatinkan. 3. Sejarah Pemerintahan Kota Surakarta Tanggal 16 Juni merupakan hari jadi Pemerintahan Kota Surakarta. Secara de facto tanggal 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus kekuasaan keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Nama Surakarta digunakan dalam konteks formal, sedangkan nama Solo untuk konteks informal. Ketika Indonesia masih menganut ejaan ‘Repoeblik’, nama kota ini juga ditulis Soerakarta. Secara yuridis Kota Surakarta terbentuk berdasarkan penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor 16/SD, yang diumumkan pada tanggal 15 Juli. Perkembangan Kota Surakarta dimulai dengan periode Pemerintahan Harminte Surakarta, Pemerintah Daerah Surakarta, Pemerintah Daerah Kotapraja Surakarta, Pemerintah Kotamadaya Surakarta, hingga sekarang sejak berlakunya daerah otonomi menjadi Kota Surakarta sejak diberlakukannyaundan-undang tentang otonomi daerah. Surakarta memiliki semboyan "Berseri", akronim dari "Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah", sebagai slogan pemeliharaan keindahan kota. Untuk kepentingan pemasaran pariwisata, Solo mengambil slogan pariwisata Solo, The Spirit of Java (Jiwanya Jawa) sebagai upaya pencitraan kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa. Selain itu Kota Solo juga memiliki beberapa julukan, antara lain Kota Batik, Kota Budaya, Kota Liwet. Karakteristik Sosial Kota Surakarta 1. Administrasi Kota Surakarta Kota Surakarta terletak di 110° 45’ 15” sampai 110°45’ 35” bujur timur dan 7°36’ sampai 7°56’ lintang selatan; berbatasan langsung dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan. Surakarta dibagi menjadi 5 kecamatan dengan 51 kelurahan. Kecamatan Kelurahan RW RT KK Laweyan 11 105 454 25.899 Serengan 7 72 309 14.033 Pasar kliwon 9 100 424 22.035 Jebres 11 149 631 37.605 Banjarsari 13 169 851 45.965 Total 51 595 2.669 145.537 Tabel 1. Kecamatan dan Jumlah Kelurahan, RW, RT, serta KK di Kota Surakarta 2. Ekonomi Kota Surakarta Pertumbuhan ekonomi Surakarta pada tahun 2009 secara agregat cukup dinamis. Sejak terjadinya krisis pada pertengahan tahun 1997 dan tahun 1998, pertumbuhan ekonomi tahun tersebut menurun drastis sekitar minus 13,93%. Namun demikian pada periode 2001-2009, perekonomian Surakarta menunjukkan adanya perbaikan yaitu tumbuh berkisar 4-6%. Tahun Pertumbuhan Ekonomi (%) Tahun Pertumbuhan Ekonomi (%) 2000 4,16 2005 5,15 2001 4,12 2006 5,43 2002 4,97 2007 5,82 2003 6,11 2008 5,69 2004 5,80 2009 5,90 Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi Kota Surakarta Tahun 2000 – 2009 Sektor Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pertanian -2,37 0,88 1,20 1,54 -1,14 1,19 Pertambangan -0,72 3,34 -0,21 2,31 4,22 -2,24 Industri 6,07 1,47 2,55 3,46 2,32 2,94 Listrik, gas & air 7,61 4,45 9,25 5,56 6,35 8,13 Bangunan 1,44 8,24 5,85 9,64 10,27 7,30 Perdagangan, hotel & restoran 8,01 7,58 6,93 6,36 7,52 6,35 Pengangkutan& komunikasi 6,13 5,48 5,96 6,00 4,92 7,75 Keuangan, persewaan&jasa perusahaan 5,65 6,74 6,20 5,93 5,73 7,11 Jasa-jasa 4,54 4,79 6,97 6,20 5,22 7,05 Total 5,80 5,15 5,43 5,82 5,69 5,90 Tabel 3. PDRB Kota Surakarta Tahun 2004 – 2009 3. Demografi Kota Surakarta Berdasarkan hasil estimasi survei penduduk antar sensus (2005) tahun 2009 penduduk kota surakarta mencapai 528.202 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 89;38 yang artinya bahwa pada setiap 100 penduduk perempuan terdapat sebanyak 89 penduduk laki-laki-laki. Tingkat kepadatan penduduk Kota Surakarta tahun 2009 mencapai 11.988 jiwa/km2. Tahun 2008 tingkat kepadatan penduduk tertinggi berada di kecamtan Serengan yang mencapai angka 19.959 jiwa. dengan tingkat kepadatan yang tinggi akan berdampak pada masalah-masalah sosial seperti perumahan, kesehatan dan juga tingkat kriminalitas. Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah Total Rasio jenis kelamin Pertambahan jiwa dari kurun sebelumnya Pertumbuhan penduduk 2005 250.868 283.672 534.540 88,44 23.829 4,66 2006 254.259 258.639 512.898 98,31 -21.642 -4,05 2007 246.132 269.240 515.372 91,42 2.474 0,48 2008 247.245 275.690 522.935 89,69 7.563 1,47 2009 249.287 278.915 528.202 89,38 5.267 1,01 Tabel 4. Demografi Kota Surakarta Tahun 2005 – 2009 Dalam sensus penduduk terakhir (belum dicantumkan di BPS Surakarta), jumlah penduduk kota Surakarta pada tahun 2010 adalah 503.421 jiwa. Jika dibandingkan dengan kota lain di Indonesia, kota Surakarta merupakan kota terpadat di Jawa Tengah dan ke-8 terpadat di Indonesia, dengan luas wilayah ke-13 terkecil, dan populasi terbanyak ke-22 dari 93 kota otonom dan 5 kota administratif di Indonesia. Penduduk Solo disebut sebagai wong Solo, dan istilah putri Solo juga banyak digunakan untuk menyebut wanita yang memiliki karakteristik mirip wanita dari Solo yang mempunyai ciri khas berperilaku ramah tamah dan bertutur kata lemah lembut. 4. Budaya Kota Surakarta Kota Surakarta dikenal sebagai salah satu inti kebudayaan Jawa karena secara tradisional merupakan salah satu pusat politik dan pengembangan tradisi Jawa. Hal itu juga dikuatkan dengan adanya slogan “Solo the Spirit of Java”. Kemakmuran wilayah ini sejak abad ke-19 mendorong berkembangnya berbagai literatur berbahasa Jawa, tarian, seni boga, busana, arsitektur, dan bermacam-macam ekspresi budaya lainnya. Orang mengetahui adanya "persaingan" kultural antara Surakarta dan Yogyakarta, sehingga melahirkan apa yang dikenal sebagai "gaya Surakarta" dan "gaya Yogyakarta" di bidang busana, gerak tarian, seni tatah kulit (wayang), pengolahan batik, gamelan, dan sebagainya. Bahasa yang digunakan di Surakarta adalah bahasa Jawa Surakarta dialek Mataraman (Jawa Tengahan) dengan varian Surakarta. Dialek Mataraman/Jawa Tengahan juga dituturkan di daerah Yogyakarta, Magelang timur, Semarang, Pati, Madiun, hingga sebagian besar Kediri. Meskipun demikian, varian lokal Surakarta ini dikenal sebagai ‘varian halus’ karena penggunaan kata-kata krama yang meluas dalam percakapan sehari-hari, lebih luas daripada yang digunakan di tempat lain. Bahasa Jawa varian Surakarta digunakan sebagai standar bahasa Jawa nasional (dan internasional, seperti di Suriname). Beberapa kata juga mengalami spesifikasi, seperti pengucapan kata "inggih" ("ya" bentuk krama) yang penuh (/iŋgɪh/), berbeda dari beberapa varian lain yang melafalkannya "injih" (/iŋdʒɪh/), seperti di Yogyakarta dan Magelang. Dalam banyak hal, varian Surakarta lebih mendekati varian Madiun-Kediri, daripada varian wilayah Jawa Tengahan lainnya. Walaupun dalam kesehariannya masyarakat Kota Surakarta menggunakan bahasa nasional bahasa Indonesia, namun sejak kepemimpinan walikota Joko Widodo bahasa Jawa mulai digalakkan kembali penggunaannya di tempat-tempat umum, termasuk pada plang nama-nama jalan dan nama-nama instansi pemerintahan dan bisnis swasta. Kota Surakarta memiliki beberapa tarian daerah seperti Bedhaya (Ketawang, Dorodasih, Sukoharjo, dll.) dan Srimpi (Gandakusuma dan Sangupati). Tarian ini masih dilestarikan di lingkungan Keraton Solo. Tarian seperti Bedhaya Ketawang secara resmi hanya ditarikan sekali dalam setahun untuk menghormati Sri Susuhunan Pakoe Boewono sebagai pemimpin Kota Surakarta. Budaya lain yang begitu melekat dengan Kota Surakarta adalah batik. Batik di kota ini memiliki corak dan ciri pengolahan yang khas: corak sidomukti dan sidoluruh dengan warna kecoklatan (sogan) yang mengisi ruang bebas warna. Ciri khas batik Solo yang lain adalah dari segi warna, pemilihan warnanya cenderung kecoklatan gelap dan mengikuti kecenderungan batik pedalaman. Hal itu berbeda dengan batik Yogyakarta maupun Batik Pekalongan yang cenderung agak terang. Jenis bahan batik bermacam-macam, mulai dari sutra hingga katun, dan cara pengerjaannya pun beraneka macam, mulai dari batik tulis hingga batik cap. Keberadaan batik sendiri sudah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia dan Kota Solo sendiri dijuluki sebagai “The Capital of Batik”. Di Solo juga terdapat beberapa industry batik terbesar yang dikenal hingga ke mancanegara antara lain Batik Danar Hadi, Batik Semar dan Batik Keris. Selain itu juga terdapat home industry batik di kawasan Kampung Batik Kauman dan Kampung Batik Laweyan. Lagu dalam budaya Solo (bahasa Jawa) juga telah dikenal di masyarakat luas yaitu Tembang Campur Sari. Banyak musisi campur sari yang telah dikenal antara lain Waljinah, Didi Kempot. Terdapat pula lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang yang terkenal hingga mancanegara. Selain lagu, Wayang, Keris, dan Gamelan juga merupakan budaya Surakarta. Bahkan wayang dan keris juga telah ditetapkan sebagai warisan budaya nasional oleh UNESCO. Dalam hal wisata budaya, Kota Surakarta mempunyai beberapa tempat budaya antara lain Keraton Kasunanan dan Keraton Mangkunegaran, Museum Radya Pustaka sebagai museum tertua di Indonesia, Museum Batik Danar Hadi, Kampung Batik Kauman dan Kampung Batik Laweyan, Taman Sriwedari yang merupakan bekas Kebon Raja, PAsar Klewer sebagai pusat grosir tekstil khususnya batik terbesar seluruh Indonesia, Pasar Gedhe sebagai pusat pasar tradisional di Surakarta, Koridor Ngarsopuro sebagai koridor budayanya wong Solo. Kuliner Serabi Solo atau Timlo Solo juga dapat dinikmati sambil mengunjugi lokasi wisata tersebut. Selain itu akhir – akhir ini Kota Surakarta sering menggelar event budaya yang berskala nasional maupun internasional seperti Kirab 1 Suro, Grebeg Mulud, Grebeg Syawalan, Grebeg Sudiro, Grebeg Pasa, Sekaten, Festival Dolanan Bocah, Solo Menari 24 Jam, Solo Batik Carnival, Kirab Budaya Surakarta, Solo International Performing Art (SIPA), Solo Internasional Contemporery Ethnic Music (SIEM). Karakteristik Fisik Kota Surakarta 1. Ekologi Kota Surakarta Kota Surakarta merupakan sebuah kota lembah karena posisinya berupa cekungan dan diapit oleh gunung Lawu, gunung Merapi-Merbabu, pegunungan kapur selatan dan pegunungan kapur utara atau wilayah-wilayah dengan topografi yang lebih tinggi. Kota ini dilintasi oleh sungai Jenes (anak sungai Pepe); Pepe, Anyar, Premulung, dan Wingko (anak sungai Bengawan Solo); serta sungai yang menjadi ikon kota yaitu Bengawan Solo. Hingga tahun 2011 Kota Surakarta baru memenuhi 18% RTH dari yang seharusnya ada yaitu 30% dari keseluruhan luas kota. RTH di Kota Surakarta terdiri dari taman kota (taman Sekartaji, Gesang, Tirtonadi, Balekambang, Satwa Taru Jurug, Sriwedari), alun-alun, dan UNS. 2. Bentuk dan Struktur Kota Surakarta Dari temuan hasil berbagai studi kasus di Kota Surakarta, secara biologis morfologinya tersusun atas tiga komponen utama yaitu tulang (untilitas kota: jalan, rel yang tumbuh dalam berbagai formasi memusat, mengelompok, dan organik), kulit (bangunan hunian yang tumbuh secara horisontal, vertikal, dan interestesial), serta darah (aktivitas manusia yang terdiri dari orang pribumi seperti Jawa, Madura, Banjar; orang pendatang seperti Cina, Arab/India, Belanda); dan orang priyayi atau para bangsawan). Kota Surakarta tersusun oleh tiga konsep berlainan yang saling tumpang tindih, yaitu konsep organik oleh masyarakat pribumi, konsep kolonial oleh masyarakat Belanda, dan konsep kosmologi oleh masyarakat keraton Jawa. Menurut teori morfologi kota (Hadi Sabari Yunus, 2008: 111), Kota Surakarta termasuk dalam bentuk Under Bounded City, yaitu perkembangan kota hingga keluar batas administrasinya dengan adanyan perkembangan menuju ke arah Palur dan Colomadu yang termasuk kabupaten Karanganyar, serta ke arah Kartasura dan Solo Baru yang termasuk Kabupaten Sukoharjo. Sedangkan pertumbuhan kota yang bersifat ribbon development mengikuti persebaran jalan utama ke arah kota satelitnya membentuk pola kota menjadi Stellar atau Radial. Sturktur kota berdasarkan elemennya land telah berkembang dari kota air ke kota daratan. Untuk elemen bangunan juga telah berkembang dari tradisional, vernakuler, campuran, dan kontemporer. Untuk elemen manusia juga telah berkembang dari pribumi-agraris, non pribumi-agraris, hingga campuran keduanya. Kota Solo pada masa dahulu, terdapat aturan bahwa pembangunan suatu gedung tidak boleh melebihi menara sanggabuwana, sehingga terlihat rapi dengan pembangunan vertikal. Tetapi sejak masa 1990-an, city scape Kota Solo telah berubah dengan dibangunnya gedung – gendung tinggi yang melebihi menara Sanggabuwana karena lahan yang terbatas. Bahkan terdapat bangunan dengan lantai berjumlah 25 lantai sekarang ini. 3. Transportasi dan Infrastruktur Kota Surakarta a. Transportasi Sistem transportasi di Kota Surakarta dapat digolongkan dalam beberapa subsistem, yaitu: ও Subsistem pergerakan Di Kota Surakarta tahun 2009 ada sekitar 1.134 kendaraan umum yang berdomisili, terdiri dari 430 taksi, 423 angkutan, dan 281 bus perkotaan. Untuk menunjang pergerakan dengan menggunakan moda kereta api ada 4 stasiun yang aktif, yaitu stasiun Solo Balapan, stasiun Jebres, stasiun Purwosari, dan stasiun Solo Kota. Sementara untuk moda pesawat terbang, terdapat bandara internasional Adi Smarmo yang secara administratif terletak di Kabupaten Boyolali. Selain itu juga terdapat terminal bus tipe A yaitu Terminal Tirtonadi bagi moda bus dengan beberapa halte, Terminal Gilingan sebagai terminal moda travel, Terminal Harjodaksino dan Terminal Tipes sebagai terminal angkutan kota. Dalam hal transportasi, kota Solo telah dijadikan kota percontohan transportasi massal yaitu dengan diluncurkannya Solo Batik Trans dengan beberapa shelternya dan Railbus. Serta tak kalah pula transportasi untuk wisata yaitu bus tingkat Werkudara dan kereta uap Jaladara. Di kota Solo terdapat pula angkutan tradisional antara lain becak dan andong. ও Subsistem jaringan Kota Surakarta dilintasi jaringan jalan negara sepanjang 13,15 KM, jalan provinsi 16,33 KM, sedangkan jalan kabupaten/kota sendiri sepanjang 675,86 KM yang kompisisi penyusun jalannya berupa aspal, kerikil, tanah, serta tidak diperinci. Keadaan kondisi jalan untuk jalan negara 2,65 KM dalam keadaan baik, 6,05 KM dalam keadaan sedang, dan 4,45 KM dalam keadaan rusak. Untuk jalan provinsi 3,75 KM dalam keadaan sedang dan 12,58 KM sisanya dalam keadaan rusak. Sementara jalan kabupaten/kota kondisinya saat ini 447,78 KM dalam keadaan baik, 206,92 Km dalam keadaan sedang, 18,29 KM dalam keadaan rusak, serta 2,87 KM rusak berat. Pola jaringan jalannya tersebar membentuk pola radial dengan menghubungkan wilayah sekitarnya. Jalan negara yang termasuk dalam jalan arteri primer berbatasan langsung dengan wilayah sekitarnya antara lain, Jalan Adi Sucipto yang menghubungkan ke Boyolali dan Semarang, Jalan Ir. Sutami yang menghubungkan Surabaya dan Karanganyar, Jalan Dr. Radjiman yang menghubungkan ke Klaten dan Yogyakarta, Jalan Brigjen Sudiarto yang menghubungkan Sukoharjo dan Wonogiri serta Jalan Kolonel Sugiono yang menghubungkan ke Purwodadi. Letak strategis jaringan jalan nasional tersebut juga sangat berpengaruh dalam perkembangan Kota Surakarta itu sendiri. Selain itu prasarana yang mendukung tranportasi di Surakarta antara lain adanya Pelican Crossing sebagai pembantu orang menyeberang jalan dan MVS sebagai penanda informasi kecepatan arus lalu lintas. b. Infastruktur di Kota Surakarta Infrastruktur yang menunjang kehidupan penduduk di Kota Surakarta: ঙ Fasilitas Pendidikan: 290 TK (negeri dan swasta), 272 SD, 79 SLTP, 42 SMA, 47 SMK, 32 universitas dan/atau sekolah tinggi dengan beberapa sekolah bertaraf internasional serta perguruan tinggi bertaraf internasional. ঙ Fasilitas Kesehatan: 19 rumah sakit, bahkan terdapat rumah sakit rujukan nasional yaitu Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. Soeharso ঙ Fasilitas Rekreasi dan Olahraga: Keraton Surakarta,Keraton Mangkunegaran, Museum Radya Pustaka, Taman dan Stadion Sriwedari, Taman Satwataru Jurug, Taman Balekambang, Kawasan Kompleks Olahraga Manahan, dll. ঙ Fasilitas Permukiman : Terdapat beberapa kawasan permukiman di beberapa tempat di Surakarta seperti di Serengan, Pasar Kliwon, Mojosongo, hingga kawasan elit di Banyuanyar dan Perumahan Fajar Indah. ঙ Fasilitas Ekonomi dan Perbankan : Terdapat beberapa pasar tradisional yang besar antara lain Pasar Gedhe, Pasar Legi, Pasar Klewer,dll.. Selain itu terdapat pasar modern di Kota Surakarta antara lain Solo Grand Mall, Solo square, Pusat Grosir Solo, dll. Untuk Perbankan terdapat bank – bank besar seperti Bank Indonesia, Bank Mandiri, BCA, BNI 46, BRI. ঙ Fasilitas Peribadatan : Masjid Agung Surakarta, Gereja St. Antonius Purbayan, Klenteng ঙ Fasilitas Jasa (Hotel dan Restaurant. Beberapa hotel berbintang telah bertaraf internasional, seperti Hotel Kusuma Sahid Raya, Hotel Sahid Jaya, Hotel Novotel, dan Hotel Best Western Premier. Bahkan sekarang telah dibangun hotel dan apartement Solo Paragon yang berlantai 25. Untuk restaurant terdapat beberapa macam, anatar lain Diamond restaurant yang bertaraf internasional, Omah Sinten, Adem Ayem, Gladak Langen Bogan, Pringsewu ঙ Fasilitas Air Bersih : Terdapat tiga sumber untuk air bersih yaitu dari Mata Air Cokro Tulung, Sungai Bengawan Solo, dan sumur dalam ঙ Fasilitas Drainase : Terdapat beberapa sungai yang berfungsi mengurangi genangan dan banjir di Kota Surakarta yaitu Sungai Kalianyar, Sungai Pepe, Sungai Jenes, Sungai Wingko, dan Sungai Premulung serta drainase kecil lainnya. ঙ Fasilitas Penegelolaan Sampah dan Limbah : Sampah yaitu di TPA Putri Cempo dan beberapa TPS lainnya, Limbah yaitu IPAL Semanggi dan IPAL Mojosongo ঙ Fasilitas Telekomunikasi, Listrik dan Gas : Terdapat dari PLN Kota Surakarta, PT Telkom Surakarta dan PT Pertamina Isu dan Prospek Kota Surakarta Isu – Isu Kota Surakarta 1. Kota dengan Pemerintahan Terbaik Kementrian Dalam Negeri memberikan apresiasi kepada Pemerintah Daerah Kota Surakarta sebagai penyelenggara pemerintahan daerah yang terbaik. Penilaian dilakukan secara komprehensif dan obyektif dengan 173 indikator penilaian daerah, mulai dari lingkungan hidup, tata ruang, catatan sipil, hingga ketahanan pangan. Kota Solo berhasil mengalahkan kota – kota besar lainnya di Indonesia. Hal itu dapat mendukung kota Solo sebagai kota internasional dan mengangkat martabat kota Solo dibandingkan kota – kota lainnya. Sehingga dapat menggugah pemerintah untuk memberikan pelayanan yang baik terutama kepada warga masyarakat Surakarta dan warga asing yang ingin berkunjung ke Kota Solo. 2. Kota Solo sebagai Kota Konferensi Internasional a. Konferensi AMPCHUD Se-Asia Pasifik Konferensi ini membahas mengenai masalah permukiman di wilayah negara – negara yang sedang berkembang. Banyaknya permukiman illegal dan kumuh menjadi topic utama yang dibicarakan di konferensi ini. Pemindahan permukiman kumuh di kawasan Pucang Sawit ke Mojosongo oleh Pemerintah Surakarta dengan baik juga dapat dijadikan contoh dalam konferensi permasalahan permukiman tersebut. b. Konferensi Penanganan PKL Se-Asia Pasifik Kota Surakarta menjadi percontohan dalam model penataan pedagang kaki lima (PKL) untuk kawasan Asia Pasifik.. Keberadaan sector informal terutama pedagang kaki lima sering tidak diperhatikan oleh pemerintah dan sering terjadi pertikaian apabila dipindahakan secara paksa.Pemerintah seolah tidak peduli dengan keberadaan mereka Tetapi hal itu tidak dilakukan oleh pemerintah Surakarta. Pemerintah Kota Solo berhasil merelokasi dan menata pedagang kaki lima ke dalam suatu kawasan khusus tanpa adanya pertikaian maupun paksaan. Mereka dengan sendirinya ingin mengikuti aturan pemerintah kota. Hal in disebabkan adanya negosiasi khusus yang dilakukan oleh Walikota, Ir. Joko Widodo terhadap para pedagang kaki lima. Negara – Negara lain pun heran dan kagum terhadap yang dilakukan oleh pemerintah Surakarta dalam upaya merelokasi pedagang kaki lima. Oleh sebab itu digelar konferensi internasional tersebut di Kota Surakarta. c. Konferensi Asian Parlementari Assembly Kota Solo menjadi tuan rumah pelaksanaan forum pertemuan parlemen tingkat Asia atau Asian Parliamentary Assembly (APA) yang akan digelar pada 28 hingga 29 September 2011 mendatang Menurut Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen ,Hidayat Nur Wahid,Indonesia bukan hanya Bali dan Jakarta saja, sehingga kami mengusulkan Solo sebagai tuan tumah pelaksanaan APA tersebut. Indonesia dikenal sebagai Negara yang demokratis ditengah perbedaan, dan itu semua ada di Kota Solo yang dikenal dengan kerukunannya serta kualitas budaya di masyarakat. Dalam pertemuan parlemen asia tersebut juga digelar konferensi tentang prinsip-prinsip kerjasama dan persahabatan di Asia. Diharapkan semua negara yang hadir dalam APA tersebut bisa belajar mengenai prinsip-prinsip persahabatan dan kerjasama di Kota Solo. Sebab semua itu ada di Kota Solo dan berharap pelaksanaan konferensi tersebut bisa menjadi nilai tambah mengenai prinsip kerjasama dan persahabatan di Asia sehingga tidak hanya menjadi teori saja. Dengan adanya nilai tambah tersebut, diharapkan forum parlemen di Asia tersebut tidak hanya menjadi tempat berkumpul para parlemen dari 41 negara yang berasal dari Asia Tenggara, Asia Timur serta Asia Barat saja tetapi juga memberikan sumbangsih dan masukan bagi negara-negara di Asia dengan mengambil contoh Kota Solo. 3. Eco-Cultural City Kota Solo ingin menjadikan sebagai Eco-Cultural City yang artinya bahwa kota budaya yang berwawasan lingkungan. Hal ini dimaksud untuk menjaga kelestarian budaya yang terdapat di Kota Solo tetapi juga dengan menjaga kelestarian lingkungannya. Banyak tempat wisata budaya yang telah dijadikan sebagai Cagar Budaya agar terlindungi dan telah direvitalisasi oleh pemerintah sehingga keberadaannya dapat dinikmati oleh masyarakat domestic maupun mancanegara. Pemerintah Kota pun sedang melakukan pemasaran Kota Solo dengan menggelar event budaya yang berskala nasional maupun internasional. Selain itu Kota Solo juga telah merencankan menjadikan kota dalam kebun pada tahun 2015 dan kota dalam hutan pada tahun 2025. Perlu diketahui pula bahwa saat ini keberadaan RTH di Surakarta hanya 18 %, jauh di bawah standart yang berkisar 30 %. Untuk itu, saat ini sedang diadakan lomba penataaan tata lingkungan di kelurahan di Surakarta guna meningkatkan RTH dan mendukung Eco-Cultural city di Kota Surakarta. Prospek Kota Surakarta Di dunia internasional, Indonesia hanya dikenal dengan Jakarta dan Bali saja. Tetapi Kota Surakarta dengan visinya sebagai Kota Budaya dapat menjadi suatu kota internasional yang dikenal di seluruh mancanegara. Hal itu disebabkan banyak faktor yang membantu dalam mempromosikan Kota Solo tersebut antara lain pengenalan budaya Solo ke dunia internasional melalui event budaya maupun konferensi internasional dan pelayanan yang baik kepada para pendatang atau wisatawan yang berkunjung ke Solo. Dalam promosi budaya Solo, pemerintah telah aktif menggelar pementasan budaya yang bertaraf internasional yaitu SIPA, Solo Batik Carnival, SIEM. Banyak budayawan pendatang atau dari luar negeri yang ikut berpartisipasi aktif dalam pementasan tersebut. Maka hal itu dapat menarik turis asing untuk menonton pementasan tersebut dan lebih mengenali kota Solo. Budaya yang kuat melalui Batik, Keris, Wayang yang sudah diakui secara internasional juga akan menambah daya tarik wisatawan asing untuk berkunjung ke Solo. Secara otomatis pula, ekonomi warga sekitar akan terangakat karena jumlah wisatawan yang terus melonjak. Dalam konferensi internasional, pemerintah Kota Solo sering ditunjuk untuk menjadi tuan rumah dalam event internasional tersebut. Para delegasi dari luar negeri akan berkunjung ke Solo untuk menghadiri konferensi tersebut. Dengan begitu para delegasi tersebut akan mengenali kota Solo dan karakteristik khas Kota Solo. Pelayanan yang baik juga sangat berpengaruh. Jika pemerintah tidak mempersulit pelayanan terhadap kedatangan turis asing maka turis asing pun dengan senag hati akan melakukan kunjungan ke Kota Solo. Begitu pula dengan para delegasi dari luar negeri yang akan menghadiri rapat atau konferensi di Solo. Jika kedatangan mereka disambut dengan baik tidak dipersulit dan disuguhkan aroma budaya Solo meliputi pengenalan batik Solo, wayang Solo, Keris Solo, Serabi Solo, Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran, serta Pasar Gedhe yang kaya sejarahnya, maka mereka akan terkagum dan akan menjadi sarana promosi ke negara asal delegasi maupun turis tersebut. Tak ketinggalan pula dengan perbaikan infrastruktur, pelayanan transportasi dan kondisi lingkungan yang baik akan membuat mereka aman dan nyaman selama berada di Solo. Keberadaan wisatawan yang meningkat juga akan meningkatkan kondisi perekonomian di Kota Solo. Dan dimulai dari hal tersebut maka tak heran jika nantinya Kota Solo dikenal sebagai Kota Internasional di Indonesia selain Jakarta dan Bali tetapi juga tidak meninggalkan unsure budaya di dalamnya. DAFTAR PUSTAKA Kota Surakarta dalam Angka Tahun 2009 PDRB Kota Surakarta Tahun 2009 Pontoh K, Nia dkk. 2009. Pengantar Perencanaan Perkotaan. Penerbit ITB Press: Bandung Yunus, Hadi Sabari. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Pustaka Pelajar: Yogyakarta www.pemkot-surakarta.go.id diakses tanggal 3 Mei 2011 www.wikipedia.com diakses tanggal 3 Mei 2011 www.joglosemar.co.id diakses tanggal 5 Mei 2011

Kota Surakarta sebagai Kota Internasional yang Berbudaya

Riwayat Perkembangan Kota Surakarta 1. Toponomi Kota Surakarta Kota Surakarta yang juga dikenal sebagai Kota Solo memiliki semacam keunikan tersendiri dengan adanya dua cara penamaan terhadap eksistensi kota tua ini. Nama ‘Solo’ diambil dari nama tempat bermukimnya pimpinan kuli pelabuhan, yaitu Ki Soroh Bau (bahasa Jawa, yang berarti kepala tukang tenaga) yang berangsur-angsur terjadi pemudahan ucapan menjadi Ki Sala atau Ki Ageng Sala, yang berada disekitar Bandar Nusupan semasa Kadipaten dan Kerajaan Pajang (1500-1600). Lokasi Bandar Nususpan itu kemudian disebut Desa Sala dan kemudian sekarang lokasi tersebut dikenal dengan Kota Solo. Sementara nama ‘Surakarta’ diambil dari nama dinasti Kerajaan Mataram Jawa yang berpindah dari Kraton Kartasura pada tahun 1745. Perpindahan kraton dilakukan oleh Raja Paku Buwono II karena Kraton Kartasura sudah hancur akibat peperangan dan pemberontakan yang terkenal dengan Geger Pecinan tahun 1742. Akhiran -karta merujuk pada kota, dan kota Surakarta masih memiliki hubungan sejarah yang erat dengan ‘Kartasura’ 2. Sejarah Kota Surakarta Sejarah kelahiran Kota Surakarta dimulai pada masa pemerintahan Raja Paku Buwono II di keraton Kartasura. Pada masa itu terjadi pemberontakan Mas Garendi (Sunan Kuning) dibantu kerabat-kerabat Keraton yang tidak setuju dengan sikap Paku Buwono II yang mengadakan kerjasama dengan Belanda. Salah satu pendukung pemberontakan ini adalah Pangeran Sambernyowo (RM Said) yang merasa kecewa karena daerah Sukowati yang dulu diberikan oleh keraton Kartasura kepada ayahandanya dipangkas. Karena terdesak, Paku Buwono mengungsi kedaerah Jawa Timur (Pacitan dan Ponorogo). Dengan bantuan pasukan Kumpeni dibawah pimpinan Mayor Baron Van Hohendrof serta Adipati Bagus Suroto dari Ponorogo pemberontakan berhasil dipadamkan. Setelah tahu keraton Kartasura dihancurkan Paku Buwono II lalu memerintahkan Tumenggung Tirtowiguno, Tumenggung Honggowongso, dan Pangeran Wijil untuk mencari lokasi ibu kota Kerajaan yang baru. Pada tahun 1745, dengan berbagai pertimbangan fisik dan supranatural, Paku Buwono II memilih desa Sala – sebuah desa di tepi sungai Bengawan Solo – daerah yang terasa tepat untuk membangun istana yang baru. Sejak saat itulah, desa sala segera berubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Melihat perjalanan sejarah tersebut, nampak jelas bahwa perkembangan dan dinamika Kota Surakarta pada masa dahulu sangat dipengaruhi selain oleh Pusat Pemerintahan dan Budaya Keraton (Kasunanan dan Mangkunegaran), juga oleh kolonialisme Belanda (Benteng Verstenberg). Sedangkan pertumbuhan dan persebaran ekonomi melalui Pasar Gedhe (Hardjonagoro). Hingga sekarang pusat – pusat pertumbuhan kota Surakarta masih berada di kawasan Gladak, yaitu berada di sekitar keraton Kasunanan, benteng Vastenburg, dan pasar Gedhe. Namun benteng Vastenburg samapai sekarang kondisinya masih memprihatinkan. 3. Sejarah Pemerintahan Kota Surakarta Tanggal 16 Juni merupakan hari jadi Pemerintahan Kota Surakarta. Secara de facto tanggal 16 Juni 1946 terbentuk Pemerintah Daerah Kota Surakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, sekaligus menghapus kekuasaan keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Nama Surakarta digunakan dalam konteks formal, sedangkan nama Solo untuk konteks informal. Ketika Indonesia masih menganut ejaan ‘Repoeblik’, nama kota ini juga ditulis Soerakarta. Secara yuridis Kota Surakarta terbentuk berdasarkan penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor 16/SD, yang diumumkan pada tanggal 15 Juli. Perkembangan Kota Surakarta dimulai dengan periode Pemerintahan Harminte Surakarta, Pemerintah Daerah Surakarta, Pemerintah Daerah Kotapraja Surakarta, Pemerintah Kotamadaya Surakarta, hingga sekarang sejak berlakunya daerah otonomi menjadi Kota Surakarta sejak diberlakukannyaundan-undang tentang otonomi daerah. Surakarta memiliki semboyan "Berseri", akronim dari "Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah", sebagai slogan pemeliharaan keindahan kota. Untuk kepentingan pemasaran pariwisata, Solo mengambil slogan pariwisata Solo, The Spirit of Java (Jiwanya Jawa) sebagai upaya pencitraan kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa. Selain itu Kota Solo juga memiliki beberapa julukan, antara lain Kota Batik, Kota Budaya, Kota Liwet. Karakteristik Sosial Kota Surakarta 1. Administrasi Kota Surakarta Kota Surakarta terletak di 110° 45’ 15” sampai 110°45’ 35” bujur timur dan 7°36’ sampai 7°56’ lintang selatan; berbatasan langsung dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan. Surakarta dibagi menjadi 5 kecamatan dengan 51 kelurahan. Kecamatan Kelurahan RW RT KK Laweyan 11 105 454 25.899 Serengan 7 72 309 14.033 Pasar kliwon 9 100 424 22.035 Jebres 11 149 631 37.605 Banjarsari 13 169 851 45.965 Total 51 595 2.669 145.537 Tabel 1. Kecamatan dan Jumlah Kelurahan, RW, RT, serta KK di Kota Surakarta 2. Ekonomi Kota Surakarta Pertumbuhan ekonomi Surakarta pada tahun 2009 secara agregat cukup dinamis. Sejak terjadinya krisis pada pertengahan tahun 1997 dan tahun 1998, pertumbuhan ekonomi tahun tersebut menurun drastis sekitar minus 13,93%. Namun demikian pada periode 2001-2009, perekonomian Surakarta menunjukkan adanya perbaikan yaitu tumbuh berkisar 4-6%. Tahun Pertumbuhan Ekonomi (%) Tahun Pertumbuhan Ekonomi (%) 2000 4,16 2005 5,15 2001 4,12 2006 5,43 2002 4,97 2007 5,82 2003 6,11 2008 5,69 2004 5,80 2009 5,90 Tabel 2. Pertumbuhan Ekonomi Kota Surakarta Tahun 2000 – 2009 Sektor Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Pertanian -2,37 0,88 1,20 1,54 -1,14 1,19 Pertambangan -0,72 3,34 -0,21 2,31 4,22 -2,24 Industri 6,07 1,47 2,55 3,46 2,32 2,94 Listrik, gas & air 7,61 4,45 9,25 5,56 6,35 8,13 Bangunan 1,44 8,24 5,85 9,64 10,27 7,30 Perdagangan, hotel & restoran 8,01 7,58 6,93 6,36 7,52 6,35 Pengangkutan& komunikasi 6,13 5,48 5,96 6,00 4,92 7,75 Keuangan, persewaan&jasa perusahaan 5,65 6,74 6,20 5,93 5,73 7,11 Jasa-jasa 4,54 4,79 6,97 6,20 5,22 7,05 Total 5,80 5,15 5,43 5,82 5,69 5,90 Tabel 3. PDRB Kota Surakarta Tahun 2004 – 2009 3. Demografi Kota Surakarta Berdasarkan hasil estimasi survei penduduk antar sensus (2005) tahun 2009 penduduk kota surakarta mencapai 528.202 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 89;38 yang artinya bahwa pada setiap 100 penduduk perempuan terdapat sebanyak 89 penduduk laki-laki-laki. Tingkat kepadatan penduduk Kota Surakarta tahun 2009 mencapai 11.988 jiwa/km2. Tahun 2008 tingkat kepadatan penduduk tertinggi berada di kecamtan Serengan yang mencapai angka 19.959 jiwa. dengan tingkat kepadatan yang tinggi akan berdampak pada masalah-masalah sosial seperti perumahan, kesehatan dan juga tingkat kriminalitas. Tahun Laki-laki Perempuan Jumlah Total Rasio jenis kelamin Pertambahan jiwa dari kurun sebelumnya Pertumbuhan penduduk 2005 250.868 283.672 534.540 88,44 23.829 4,66 2006 254.259 258.639 512.898 98,31 -21.642 -4,05 2007 246.132 269.240 515.372 91,42 2.474 0,48 2008 247.245 275.690 522.935 89,69 7.563 1,47 2009 249.287 278.915 528.202 89,38 5.267 1,01 Tabel 4. Demografi Kota Surakarta Tahun 2005 – 2009 Dalam sensus penduduk terakhir (belum dicantumkan di BPS Surakarta), jumlah penduduk kota Surakarta pada tahun 2010 adalah 503.421 jiwa. Jika dibandingkan dengan kota lain di Indonesia, kota Surakarta merupakan kota terpadat di Jawa Tengah dan ke-8 terpadat di Indonesia, dengan luas wilayah ke-13 terkecil, dan populasi terbanyak ke-22 dari 93 kota otonom dan 5 kota administratif di Indonesia. Penduduk Solo disebut sebagai wong Solo, dan istilah putri Solo juga banyak digunakan untuk menyebut wanita yang memiliki karakteristik mirip wanita dari Solo yang mempunyai ciri khas berperilaku ramah tamah dan bertutur kata lemah lembut. 4. Budaya Kota Surakarta Kota Surakarta dikenal sebagai salah satu inti kebudayaan Jawa karena secara tradisional merupakan salah satu pusat politik dan pengembangan tradisi Jawa. Hal itu juga dikuatkan dengan adanya slogan “Solo the Spirit of Java”. Kemakmuran wilayah ini sejak abad ke-19 mendorong berkembangnya berbagai literatur berbahasa Jawa, tarian, seni boga, busana, arsitektur, dan bermacam-macam ekspresi budaya lainnya. Orang mengetahui adanya "persaingan" kultural antara Surakarta dan Yogyakarta, sehingga melahirkan apa yang dikenal sebagai "gaya Surakarta" dan "gaya Yogyakarta" di bidang busana, gerak tarian, seni tatah kulit (wayang), pengolahan batik, gamelan, dan sebagainya. Bahasa yang digunakan di Surakarta adalah bahasa Jawa Surakarta dialek Mataraman (Jawa Tengahan) dengan varian Surakarta. Dialek Mataraman/Jawa Tengahan juga dituturkan di daerah Yogyakarta, Magelang timur, Semarang, Pati, Madiun, hingga sebagian besar Kediri. Meskipun demikian, varian lokal Surakarta ini dikenal sebagai ‘varian halus’ karena penggunaan kata-kata krama yang meluas dalam percakapan sehari-hari, lebih luas daripada yang digunakan di tempat lain. Bahasa Jawa varian Surakarta digunakan sebagai standar bahasa Jawa nasional (dan internasional, seperti di Suriname). Beberapa kata juga mengalami spesifikasi, seperti pengucapan kata "inggih" ("ya" bentuk krama) yang penuh (/iŋgɪh/), berbeda dari beberapa varian lain yang melafalkannya "injih" (/iŋdʒɪh/), seperti di Yogyakarta dan Magelang. Dalam banyak hal, varian Surakarta lebih mendekati varian Madiun-Kediri, daripada varian wilayah Jawa Tengahan lainnya. Walaupun dalam kesehariannya masyarakat Kota Surakarta menggunakan bahasa nasional bahasa Indonesia, namun sejak kepemimpinan walikota Joko Widodo bahasa Jawa mulai digalakkan kembali penggunaannya di tempat-tempat umum, termasuk pada plang nama-nama jalan dan nama-nama instansi pemerintahan dan bisnis swasta. Kota Surakarta memiliki beberapa tarian daerah seperti Bedhaya (Ketawang, Dorodasih, Sukoharjo, dll.) dan Srimpi (Gandakusuma dan Sangupati). Tarian ini masih dilestarikan di lingkungan Keraton Solo. Tarian seperti Bedhaya Ketawang secara resmi hanya ditarikan sekali dalam setahun untuk menghormati Sri Susuhunan Pakoe Boewono sebagai pemimpin Kota Surakarta. Budaya lain yang begitu melekat dengan Kota Surakarta adalah batik. Batik di kota ini memiliki corak dan ciri pengolahan yang khas: corak sidomukti dan sidoluruh dengan warna kecoklatan (sogan) yang mengisi ruang bebas warna. Ciri khas batik Solo yang lain adalah dari segi warna, pemilihan warnanya cenderung kecoklatan gelap dan mengikuti kecenderungan batik pedalaman. Hal itu berbeda dengan batik Yogyakarta maupun Batik Pekalongan yang cenderung agak terang. Jenis bahan batik bermacam-macam, mulai dari sutra hingga katun, dan cara pengerjaannya pun beraneka macam, mulai dari batik tulis hingga batik cap. Keberadaan batik sendiri sudah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia dan Kota Solo sendiri dijuluki sebagai “The Capital of Batik”. Di Solo juga terdapat beberapa industry batik terbesar yang dikenal hingga ke mancanegara antara lain Batik Danar Hadi, Batik Semar dan Batik Keris. Selain itu juga terdapat home industry batik di kawasan Kampung Batik Kauman dan Kampung Batik Laweyan. Lagu dalam budaya Solo (bahasa Jawa) juga telah dikenal di masyarakat luas yaitu Tembang Campur Sari. Banyak musisi campur sari yang telah dikenal antara lain Waljinah, Didi Kempot. Terdapat pula lagu Bengawan Solo ciptaan Gesang yang terkenal hingga mancanegara. Selain lagu, Wayang, Keris, dan Gamelan juga merupakan budaya Surakarta. Bahkan wayang dan keris juga telah ditetapkan sebagai warisan budaya nasional oleh UNESCO. Dalam hal wisata budaya, Kota Surakarta mempunyai beberapa tempat budaya antara lain Keraton Kasunanan dan Keraton Mangkunegaran, Museum Radya Pustaka sebagai museum tertua di Indonesia, Museum Batik Danar Hadi, Kampung Batik Kauman dan Kampung Batik Laweyan, Taman Sriwedari yang merupakan bekas Kebon Raja, PAsar Klewer sebagai pusat grosir tekstil khususnya batik terbesar seluruh Indonesia, Pasar Gedhe sebagai pusat pasar tradisional di Surakarta, Koridor Ngarsopuro sebagai koridor budayanya wong Solo. Kuliner Serabi Solo atau Timlo Solo juga dapat dinikmati sambil mengunjugi lokasi wisata tersebut. Selain itu akhir – akhir ini Kota Surakarta sering menggelar event budaya yang berskala nasional maupun internasional seperti Kirab 1 Suro, Grebeg Mulud, Grebeg Syawalan, Grebeg Sudiro, Grebeg Pasa, Sekaten, Festival Dolanan Bocah, Solo Menari 24 Jam, Solo Batik Carnival, Kirab Budaya Surakarta, Solo International Performing Art (SIPA), Solo Internasional Contemporery Ethnic Music (SIEM). Karakteristik Fisik Kota Surakarta 1. Ekologi Kota Surakarta Kota Surakarta merupakan sebuah kota lembah karena posisinya berupa cekungan dan diapit oleh gunung Lawu, gunung Merapi-Merbabu, pegunungan kapur selatan dan pegunungan kapur utara atau wilayah-wilayah dengan topografi yang lebih tinggi. Kota ini dilintasi oleh sungai Jenes (anak sungai Pepe); Pepe, Anyar, Premulung, dan Wingko (anak sungai Bengawan Solo); serta sungai yang menjadi ikon kota yaitu Bengawan Solo. Hingga tahun 2011 Kota Surakarta baru memenuhi 18% RTH dari yang seharusnya ada yaitu 30% dari keseluruhan luas kota. RTH di Kota Surakarta terdiri dari taman kota (taman Sekartaji, Gesang, Tirtonadi, Balekambang, Satwa Taru Jurug, Sriwedari), alun-alun, dan UNS. 2. Bentuk dan Struktur Kota Surakarta Dari temuan hasil berbagai studi kasus di Kota Surakarta, secara biologis morfologinya tersusun atas tiga komponen utama yaitu tulang (untilitas kota: jalan, rel yang tumbuh dalam berbagai formasi memusat, mengelompok, dan organik), kulit (bangunan hunian yang tumbuh secara horisontal, vertikal, dan interestesial), serta darah (aktivitas manusia yang terdiri dari orang pribumi seperti Jawa, Madura, Banjar; orang pendatang seperti Cina, Arab/India, Belanda); dan orang priyayi atau para bangsawan). Kota Surakarta tersusun oleh tiga konsep berlainan yang saling tumpang tindih, yaitu konsep organik oleh masyarakat pribumi, konsep kolonial oleh masyarakat Belanda, dan konsep kosmologi oleh masyarakat keraton Jawa. Menurut teori morfologi kota (Hadi Sabari Yunus, 2008: 111), Kota Surakarta termasuk dalam bentuk Under Bounded City, yaitu perkembangan kota hingga keluar batas administrasinya dengan adanyan perkembangan menuju ke arah Palur dan Colomadu yang termasuk kabupaten Karanganyar, serta ke arah Kartasura dan Solo Baru yang termasuk Kabupaten Sukoharjo. Sedangkan pertumbuhan kota yang bersifat ribbon development mengikuti persebaran jalan utama ke arah kota satelitnya membentuk pola kota menjadi Stellar atau Radial. Sturktur kota berdasarkan elemennya land telah berkembang dari kota air ke kota daratan. Untuk elemen bangunan juga telah berkembang dari tradisional, vernakuler, campuran, dan kontemporer. Untuk elemen manusia juga telah berkembang dari pribumi-agraris, non pribumi-agraris, hingga campuran keduanya. Kota Solo pada masa dahulu, terdapat aturan bahwa pembangunan suatu gedung tidak boleh melebihi menara sanggabuwana, sehingga terlihat rapi dengan pembangunan vertikal. Tetapi sejak masa 1990-an, city scape Kota Solo telah berubah dengan dibangunnya gedung – gendung tinggi yang melebihi menara Sanggabuwana karena lahan yang terbatas. Bahkan terdapat bangunan dengan lantai berjumlah 25 lantai sekarang ini. 3. Transportasi dan Infrastruktur Kota Surakarta a. Transportasi Sistem transportasi di Kota Surakarta dapat digolongkan dalam beberapa subsistem, yaitu: ও Subsistem pergerakan Di Kota Surakarta tahun 2009 ada sekitar 1.134 kendaraan umum yang berdomisili, terdiri dari 430 taksi, 423 angkutan, dan 281 bus perkotaan. Untuk menunjang pergerakan dengan menggunakan moda kereta api ada 4 stasiun yang aktif, yaitu stasiun Solo Balapan, stasiun Jebres, stasiun Purwosari, dan stasiun Solo Kota. Sementara untuk moda pesawat terbang, terdapat bandara internasional Adi Smarmo yang secara administratif terletak di Kabupaten Boyolali. Selain itu juga terdapat terminal bus tipe A yaitu Terminal Tirtonadi bagi moda bus dengan beberapa halte, Terminal Gilingan sebagai terminal moda travel, Terminal Harjodaksino dan Terminal Tipes sebagai terminal angkutan kota. Dalam hal transportasi, kota Solo telah dijadikan kota percontohan transportasi massal yaitu dengan diluncurkannya Solo Batik Trans dengan beberapa shelternya dan Railbus. Serta tak kalah pula transportasi untuk wisata yaitu bus tingkat Werkudara dan kereta uap Jaladara. Di kota Solo terdapat pula angkutan tradisional antara lain becak dan andong. ও Subsistem jaringan Kota Surakarta dilintasi jaringan jalan negara sepanjang 13,15 KM, jalan provinsi 16,33 KM, sedangkan jalan kabupaten/kota sendiri sepanjang 675,86 KM yang kompisisi penyusun jalannya berupa aspal, kerikil, tanah, serta tidak diperinci. Keadaan kondisi jalan untuk jalan negara 2,65 KM dalam keadaan baik, 6,05 KM dalam keadaan sedang, dan 4,45 KM dalam keadaan rusak. Untuk jalan provinsi 3,75 KM dalam keadaan sedang dan 12,58 KM sisanya dalam keadaan rusak. Sementara jalan kabupaten/kota kondisinya saat ini 447,78 KM dalam keadaan baik, 206,92 Km dalam keadaan sedang, 18,29 KM dalam keadaan rusak, serta 2,87 KM rusak berat. Pola jaringan jalannya tersebar membentuk pola radial dengan menghubungkan wilayah sekitarnya. Jalan negara yang termasuk dalam jalan arteri primer berbatasan langsung dengan wilayah sekitarnya antara lain, Jalan Adi Sucipto yang menghubungkan ke Boyolali dan Semarang, Jalan Ir. Sutami yang menghubungkan Surabaya dan Karanganyar, Jalan Dr. Radjiman yang menghubungkan ke Klaten dan Yogyakarta, Jalan Brigjen Sudiarto yang menghubungkan Sukoharjo dan Wonogiri serta Jalan Kolonel Sugiono yang menghubungkan ke Purwodadi. Letak strategis jaringan jalan nasional tersebut juga sangat berpengaruh dalam perkembangan Kota Surakarta itu sendiri. Selain itu prasarana yang mendukung tranportasi di Surakarta antara lain adanya Pelican Crossing sebagai pembantu orang menyeberang jalan dan MVS sebagai penanda informasi kecepatan arus lalu lintas. b. Infastruktur di Kota Surakarta Infrastruktur yang menunjang kehidupan penduduk di Kota Surakarta: ঙ Fasilitas Pendidikan: 290 TK (negeri dan swasta), 272 SD, 79 SLTP, 42 SMA, 47 SMK, 32 universitas dan/atau sekolah tinggi dengan beberapa sekolah bertaraf internasional serta perguruan tinggi bertaraf internasional. ঙ Fasilitas Kesehatan: 19 rumah sakit, bahkan terdapat rumah sakit rujukan nasional yaitu Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. Soeharso ঙ Fasilitas Rekreasi dan Olahraga: Keraton Surakarta,Keraton Mangkunegaran, Museum Radya Pustaka, Taman dan Stadion Sriwedari, Taman Satwataru Jurug, Taman Balekambang, Kawasan Kompleks Olahraga Manahan, dll. ঙ Fasilitas Permukiman : Terdapat beberapa kawasan permukiman di beberapa tempat di Surakarta seperti di Serengan, Pasar Kliwon, Mojosongo, hingga kawasan elit di Banyuanyar dan Perumahan Fajar Indah. ঙ Fasilitas Ekonomi dan Perbankan : Terdapat beberapa pasar tradisional yang besar antara lain Pasar Gedhe, Pasar Legi, Pasar Klewer,dll.. Selain itu terdapat pasar modern di Kota Surakarta antara lain Solo Grand Mall, Solo square, Pusat Grosir Solo, dll. Untuk Perbankan terdapat bank – bank besar seperti Bank Indonesia, Bank Mandiri, BCA, BNI 46, BRI. ঙ Fasilitas Peribadatan : Masjid Agung Surakarta, Gereja St. Antonius Purbayan, Klenteng ঙ Fasilitas Jasa (Hotel dan Restaurant. Beberapa hotel berbintang telah bertaraf internasional, seperti Hotel Kusuma Sahid Raya, Hotel Sahid Jaya, Hotel Novotel, dan Hotel Best Western Premier. Bahkan sekarang telah dibangun hotel dan apartement Solo Paragon yang berlantai 25. Untuk restaurant terdapat beberapa macam, anatar lain Diamond restaurant yang bertaraf internasional, Omah Sinten, Adem Ayem, Gladak Langen Bogan, Pringsewu ঙ Fasilitas Air Bersih : Terdapat tiga sumber untuk air bersih yaitu dari Mata Air Cokro Tulung, Sungai Bengawan Solo, dan sumur dalam ঙ Fasilitas Drainase : Terdapat beberapa sungai yang berfungsi mengurangi genangan dan banjir di Kota Surakarta yaitu Sungai Kalianyar, Sungai Pepe, Sungai Jenes, Sungai Wingko, dan Sungai Premulung serta drainase kecil lainnya. ঙ Fasilitas Penegelolaan Sampah dan Limbah : Sampah yaitu di TPA Putri Cempo dan beberapa TPS lainnya, Limbah yaitu IPAL Semanggi dan IPAL Mojosongo ঙ Fasilitas Telekomunikasi, Listrik dan Gas : Terdapat dari PLN Kota Surakarta, PT Telkom Surakarta dan PT Pertamina Isu dan Prospek Kota Surakarta Isu – Isu Kota Surakarta 1. Kota dengan Pemerintahan Terbaik Kementrian Dalam Negeri memberikan apresiasi kepada Pemerintah Daerah Kota Surakarta sebagai penyelenggara pemerintahan daerah yang terbaik. Penilaian dilakukan secara komprehensif dan obyektif dengan 173 indikator penilaian daerah, mulai dari lingkungan hidup, tata ruang, catatan sipil, hingga ketahanan pangan. Kota Solo berhasil mengalahkan kota – kota besar lainnya di Indonesia. Hal itu dapat mendukung kota Solo sebagai kota internasional dan mengangkat martabat kota Solo dibandingkan kota – kota lainnya. Sehingga dapat menggugah pemerintah untuk memberikan pelayanan yang baik terutama kepada warga masyarakat Surakarta dan warga asing yang ingin berkunjung ke Kota Solo. 2. Kota Solo sebagai Kota Konferensi Internasional a. Konferensi AMPCHUD Se-Asia Pasifik Konferensi ini membahas mengenai masalah permukiman di wilayah negara – negara yang sedang berkembang. Banyaknya permukiman illegal dan kumuh menjadi topic utama yang dibicarakan di konferensi ini. Pemindahan permukiman kumuh di kawasan Pucang Sawit ke Mojosongo oleh Pemerintah Surakarta dengan baik juga dapat dijadikan contoh dalam konferensi permasalahan permukiman tersebut. b. Konferensi Penanganan PKL Se-Asia Pasifik Kota Surakarta menjadi percontohan dalam model penataan pedagang kaki lima (PKL) untuk kawasan Asia Pasifik.. Keberadaan sector informal terutama pedagang kaki lima sering tidak diperhatikan oleh pemerintah dan sering terjadi pertikaian apabila dipindahakan secara paksa.Pemerintah seolah tidak peduli dengan keberadaan mereka Tetapi hal itu tidak dilakukan oleh pemerintah Surakarta. Pemerintah Kota Solo berhasil merelokasi dan menata pedagang kaki lima ke dalam suatu kawasan khusus tanpa adanya pertikaian maupun paksaan. Mereka dengan sendirinya ingin mengikuti aturan pemerintah kota. Hal in disebabkan adanya negosiasi khusus yang dilakukan oleh Walikota, Ir. Joko Widodo terhadap para pedagang kaki lima. Negara – Negara lain pun heran dan kagum terhadap yang dilakukan oleh pemerintah Surakarta dalam upaya merelokasi pedagang kaki lima. Oleh sebab itu digelar konferensi internasional tersebut di Kota Surakarta. c. Konferensi Asian Parlementari Assembly Kota Solo menjadi tuan rumah pelaksanaan forum pertemuan parlemen tingkat Asia atau Asian Parliamentary Assembly (APA) yang akan digelar pada 28 hingga 29 September 2011 mendatang Menurut Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen ,Hidayat Nur Wahid,Indonesia bukan hanya Bali dan Jakarta saja, sehingga kami mengusulkan Solo sebagai tuan tumah pelaksanaan APA tersebut. Indonesia dikenal sebagai Negara yang demokratis ditengah perbedaan, dan itu semua ada di Kota Solo yang dikenal dengan kerukunannya serta kualitas budaya di masyarakat. Dalam pertemuan parlemen asia tersebut juga digelar konferensi tentang prinsip-prinsip kerjasama dan persahabatan di Asia. Diharapkan semua negara yang hadir dalam APA tersebut bisa belajar mengenai prinsip-prinsip persahabatan dan kerjasama di Kota Solo. Sebab semua itu ada di Kota Solo dan berharap pelaksanaan konferensi tersebut bisa menjadi nilai tambah mengenai prinsip kerjasama dan persahabatan di Asia sehingga tidak hanya menjadi teori saja. Dengan adanya nilai tambah tersebut, diharapkan forum parlemen di Asia tersebut tidak hanya menjadi tempat berkumpul para parlemen dari 41 negara yang berasal dari Asia Tenggara, Asia Timur serta Asia Barat saja tetapi juga memberikan sumbangsih dan masukan bagi negara-negara di Asia dengan mengambil contoh Kota Solo. 3. Eco-Cultural City Kota Solo ingin menjadikan sebagai Eco-Cultural City yang artinya bahwa kota budaya yang berwawasan lingkungan. Hal ini dimaksud untuk menjaga kelestarian budaya yang terdapat di Kota Solo tetapi juga dengan menjaga kelestarian lingkungannya. Banyak tempat wisata budaya yang telah dijadikan sebagai Cagar Budaya agar terlindungi dan telah direvitalisasi oleh pemerintah sehingga keberadaannya dapat dinikmati oleh masyarakat domestic maupun mancanegara. Pemerintah Kota pun sedang melakukan pemasaran Kota Solo dengan menggelar event budaya yang berskala nasional maupun internasional. Selain itu Kota Solo juga telah merencankan menjadikan kota dalam kebun pada tahun 2015 dan kota dalam hutan pada tahun 2025. Perlu diketahui pula bahwa saat ini keberadaan RTH di Surakarta hanya 18 %, jauh di bawah standart yang berkisar 30 %. Untuk itu, saat ini sedang diadakan lomba penataaan tata lingkungan di kelurahan di Surakarta guna meningkatkan RTH dan mendukung Eco-Cultural city di Kota Surakarta. Prospek Kota Surakarta Di dunia internasional, Indonesia hanya dikenal dengan Jakarta dan Bali saja. Tetapi Kota Surakarta dengan visinya sebagai Kota Budaya dapat menjadi suatu kota internasional yang dikenal di seluruh mancanegara. Hal itu disebabkan banyak faktor yang membantu dalam mempromosikan Kota Solo tersebut antara lain pengenalan budaya Solo ke dunia internasional melalui event budaya maupun konferensi internasional dan pelayanan yang baik kepada para pendatang atau wisatawan yang berkunjung ke Solo. Dalam promosi budaya Solo, pemerintah telah aktif menggelar pementasan budaya yang bertaraf internasional yaitu SIPA, Solo Batik Carnival, SIEM. Banyak budayawan pendatang atau dari luar negeri yang ikut berpartisipasi aktif dalam pementasan tersebut. Maka hal itu dapat menarik turis asing untuk menonton pementasan tersebut dan lebih mengenali kota Solo. Budaya yang kuat melalui Batik, Keris, Wayang yang sudah diakui secara internasional juga akan menambah daya tarik wisatawan asing untuk berkunjung ke Solo. Secara otomatis pula, ekonomi warga sekitar akan terangakat karena jumlah wisatawan yang terus melonjak. Dalam konferensi internasional, pemerintah Kota Solo sering ditunjuk untuk menjadi tuan rumah dalam event internasional tersebut. Para delegasi dari luar negeri akan berkunjung ke Solo untuk menghadiri konferensi tersebut. Dengan begitu para delegasi tersebut akan mengenali kota Solo dan karakteristik khas Kota Solo. Pelayanan yang baik juga sangat berpengaruh. Jika pemerintah tidak mempersulit pelayanan terhadap kedatangan turis asing maka turis asing pun dengan senag hati akan melakukan kunjungan ke Kota Solo. Begitu pula dengan para delegasi dari luar negeri yang akan menghadiri rapat atau konferensi di Solo. Jika kedatangan mereka disambut dengan baik tidak dipersulit dan disuguhkan aroma budaya Solo meliputi pengenalan batik Solo, wayang Solo, Keris Solo, Serabi Solo, Keraton Kasunanan dan Mangkunegaran, serta Pasar Gedhe yang kaya sejarahnya, maka mereka akan terkagum dan akan menjadi sarana promosi ke negara asal delegasi maupun turis tersebut. Tak ketinggalan pula dengan perbaikan infrastruktur, pelayanan transportasi dan kondisi lingkungan yang baik akan membuat mereka aman dan nyaman selama berada di Solo. Keberadaan wisatawan yang meningkat juga akan meningkatkan kondisi perekonomian di Kota Solo. Dan dimulai dari hal tersebut maka tak heran jika nantinya Kota Solo dikenal sebagai Kota Internasional di Indonesia selain Jakarta dan Bali tetapi juga tidak meninggalkan unsure budaya di dalamnya. DAFTAR PUSTAKA Kota Surakarta dalam Angka Tahun 2009 PDRB Kota Surakarta Tahun 2009 Pontoh K, Nia dkk. 2009. Pengantar Perencanaan Perkotaan. Penerbit ITB Press: Bandung Yunus, Hadi Sabari. 2000. Struktur Tata Ruang Kota. Pustaka Pelajar: Yogyakarta www.pemkot-surakarta.go.id diakses tanggal 3 Mei 2011 www.wikipedia.com diakses tanggal 3 Mei 2011 www.joglosemar.co.id diakses tanggal 5 Mei 2011

Manajemen Pengelolaan Museum Radya Pustaka Surakarta

Latar Belakang Sejak dipopulerkannya slogan “SOLO sebagai ECO-CULTURAL CITY” telah membuat banyak pihak antara lain pemerintah, masyarakat dan swasta untuk membentuk karakter Kota Solo sebagai kota budaya yang berwawasan lingkungan. Banyak bangunan – bangunan yang bernilai sejarah dan berbudaya di Kota Solo yang terus dilakukan perbaikan atau renovasi oleh semua pahak tersebut. Salah satunya adalah Museum Radya Pustaka Surakarta. Museum Radya Pustaka, museum yang didirikan oleh Patih Karaton Surakarta bernama Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV pada tanggal 28 Oktober 1890, semasa pemerintahan Sri Susuhunan Pakoe Boewono IX memegang tampuk pimpinan, hingga penghujung tahun 1990 sudah genap berusia satu abad dan masih berdiri kokoh hingga saat ini. Disebutkan pula bahwa Museum Radya Pustaka konon merupakan museum tertua di Indonesia yang terletak di Jalan Slamet Riyadi, kompleks Taman Sriwedari. Museum ini juga telah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional oleh Kementerian Budaya dan Pariwisata Indonesia. Menurut Undang – Undan No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Tetapi akhir – akhir ini, kondisi museum sangat memprihatinkan dan sangat bertentangan dengan arti dari cagar budaya , Museum yang diresmikan Presiden Soekarno 55 tahun silam itu tak setenar dahulu kala. Sekarang keberadaan museum malah tak banyak membuat para wisatawan untuk tertarik mengunjunginya, padahal tempat wisata lain di Kota Surakarta sedang kebanjiran pengunjung tetapi itu tidak terjadi pada museum Radya Pustaka . Tempat wisata lain mungkin lebih menyuguhkan ketenaran dan atraksi mereka sehingga menjadi lebih menarik pengunjung. Oleh karena itu dengan sedang berkembangnya kota Surakarta di dunia nasional maupun internasional, maka penulis pun ingin merevitalisasi museum Radya Pustaka Surakarta sebagai pusat penelitian dan pendidikan budaya di Jawa Tengah. Mengapa Jawa Tengah? Karena Kota Solo merupakan ikon Kota di Jawa Tengah dan Kebudaayaan Jawanya yang sangat kental berupa peninggalan baik perilaku Jawa maupun benda – benda seni Jawa lainnya terdapat banyak di Kota Surakarta. Selain itu, banyaknya para pelajar ataupun mahasiswa yang ingin belajar mengenai benda budaya Jawa Tengah pada umumnya dan Kota Surakarta pada khususnya tetapi belum mempunyai tempat yang secara khusus disediakan untuk mengenal budaya Jawa Tengah. Para wisatawan asing pun banyak yang datang untuk melihat benda – benda cirri khas budaya Solo tetapi mereka sering kesulitan mencari lokasi yang lengkap untuk mempelajari benda seni dan budaya Solo. Data dan Potensi Definisi museum menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 19 Tahun 1995 tentang pemeliharaan dan pemanfaatan benda cagar budaya di museum, museum adalah lembaga tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan bukti-bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa.Museum menurut International Council of Museums (ICOM) adalah sebuah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, memperoleh, merewat, menghubungkan, dan memamerkan artefak-artefak perihal jati diri manusia dan lingkungannya untuk tujuan – tujuan studi, pendidikan dan rekreasi. Wawan Yogaswara menyebutkan bahwa persyaratan berdirinya sebuah museum adalah: 1. Lokasi museum Lokasi harus strategis dan sehat (tidak terpolusi, bukan daerah yang berlumpur/tanah rawa). 2. Bangunan museum Bangunan museum dapat berupa bangunan baru atau memanfaatkan gedung lama. Harus memenuhi prinsip-prinsip konservasi, agar koleksi museum tetap lestari. Bangunan museum minimal dapat dikelompok menjadi dua kelompok, yaitu bangunan pokok (pameran tetap, pameran temporer, auditorium, kantor, laboratorium konservasi, perpustakaan, bengkel preparasi, dan ruang penyimpanan koleksi) dan bangunan penunjang (pos keamanan, museum shop, tiket box, toilet, lobby, dan tempat parker). 3. Koleksi Koleksi merupakan syarat mutlak dan merupakan rohnya sebuah museum, maka koleksi harus: (1) mempunyai nilai sejarah dan nilai-nilai ilmiah (termasuk nilai estetika); (2) harus diterangkan asal-usulnya secara historis, geografis dan fungsinya; (3) harus dapat dijadikan monumen jika benda tersebut berbentuk bangunan yang berarti juga mengandung nilai sejarah; (4) dapat diidentifikasikan mengenai bentuk, tipe, gaya, fungsi, makna, asal secara historis dan geografis, genus (untuk biologis), atau periodenya (dalam geologi, khususnya untuk benda alam); (5) harus dapat dijadikan dokumen, apabila benda itu berbentuk dokumen dan dapat dijadikan bukti bagi penelitian ilmiah; (6) harus merupakan benda yang asli, bukan tiruan; (7) harus merupakan benda yang memiliki nilai keindahan (master piece); dan (8) harus merupakan benda yang unik, yaitu tidak ada duanya. 4. Peralatan museum Museum harus memiliki sarana dan prasarana museum berkaitan erat dengan kegiatan pelestarian, seperti vitrin, sarana perawatan koleksi (AC, dehumidifier, dll.), pengamanan (CCTV, alarm system, dll.), lampu, label, dan lain-lain. 5. Organisasi dan ketenagaan Pendirian museum sebaiknya ditetapkan secara hukum. Museum harus memiliki organisasi dan ketenagaan di museum, yang sekurang-kurangnya terdiri dari kepala museum, bagian administrasi, pengelola koleksi (kurator), bagian konservasi (perawatan), bagian penyajian (preparasi), bagian pelayanan masyarakat dan bimbingan edukasi, serta pengelola perpustakaan. Museum Radya Pustaka didirikan pada tanggal 28 Oktober 1890 Masehi atau pada hari Selasa Kliwon tanggal 15 Maulud 1820 Ehe (tahun Jawa) ini menyimpan berbagai koleksi dari R.T.H. Djojohadiningrat II. Beliau adalah pemrakarsa Perkumpulan Paheman Radya Pustaka yang didirikan oleh K.R.A. Sosrodiningrat IV pada saat menjabat sebagai patih di masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana IX. Di depan gedung, terpajang patung Ranggawarsito, pujangga terkenal keraton Surakarta. Patung ini diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 11 November 1953. Awalnya museum ini berada di salah satu ruang di kediaman KRA Sosrodiningrat IV di Kepatihan yang bernama Panti Wobowo. Kemudian atas prakarsa Paku Buwana X, museum lantas dipindahkan ke Loji Kadipolo pada tanggal 1 Januari 1913. Gedung Loji Kadipolo yang menjadi lokasi museum sekarang ini tanahnya dibeli oleh Sri Susuhunan Paku Buwana X dari seorang Belanda bernama Johannes Buselaar seharga 65 ribu gulden Belanda dengan akta noktaris 13/VII tahun 1877 nomor 10 tanah eigendom. Di halaman depan museum terdapat patung setengah badan R. Ng. Ranggawarsita. Buku karya Ranggawarsita dan pujangga lainnya yaitu Yasadipura yang berisi ungkapan falsafah, tuntunan hidup, kisah raja, sejarah, sastra, dan lainnya terhimpun di museum ini. Museum tersebut memiliki banyak koleksi budaya terutama budaya Jawa Tengah karena merupakan peninggalan kraton Kasunanan. Koleksi tersebut antara lain perangkat gamelan kuno, organ gamelan mirip piano, koleksi uang kuno, kepala perahu kuno, termasuk patung topeng kyai Rajamala, berbagai jenis wayang, berbagai macam kerisaneka macam patung kuno dari batu dan perunggu, bermacam jenis payung dan lain-lainnya dipajang di dalam museum ini. Museum Radaya Pustaka Surakarta pada zaman dahulu adalah museum yang sangat terkenal. Tetapi sekarang pengunjung museum tersebut sangat sepi dibandingkan dengan dahulu. Dengan karcis rata-rata perharinya Radya Pustaka hanya didatangi sekitar 50 pengunjung. Hal itu dikarenakan keberadaan museum yang kurang terawat dengan baik. Lantai dan dindingnya kotor, terkesan tidak terawat. Penataan barang-barang koleksi museum juga tidak rapi dan tidak tertata dengan baik. Masyarakat merasa kurang nyaman kalau berkunjung ke museum ini, karena udara di dalam ruangan yang pengap dan pencahaayaan yang kurang sehingga gelap. Tempat pelestarian benda seni dan budaya itu pun semakin diajuhi oleh kalangan wisatawan. Selain fisik bangunan museum, keberadaan koleksi museum juga terlihat kotor dan semrawut. Bahkan dalam beberapa waktu terjadi tindakan pencurian benda-benda pusaka seperti arca, keris, naskah kuno, dan beberapa benda bersejarah lainnya hingga pemalsuan benda pusaka. Selain itu hampir seluruh koleksi wayang kulit koleksi museum Radya Pustaka Solo diyakini sudah dipalsukan. Koleksi itu meliputi wayang purwa, wayang gedog dan wayang klithik yang jumlahnya mencapai hampir seratus buah. Banyaknaya pencurian dan pemalsuan tersebut dikarenakan karena lemahnya pengelolaan museum, khususnya soal penjagaan dan buruknya kualitas SDM pengelola museum, sehingga setelah diselidiki ternyata kepala museum beserta karyawannya yang terlibat dalam pencurian dan pemalsuan koleksi museum tersebut. Terjadinya persengketaan lahan yang masih berlanjut pun memperburuk citra museum radaya pustaka di kalangan masyarakat. Keberadaan Museum ini dilindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya yang merupakan adaptasi dari Undang-Undang Agraria atau Agrarische Wet 1870 dimana dalam undang-undang tersebut tercantum pasal-pasal tentang perlindungan terhadap hak kepemilikan tanah bagi orang Belanda dan Museum Radya Pustaka termasuk dalam wilayah cakupan undang-undang tersebut karena tanahnya eigendom. Museum Radya Pustaka mendapatkan koleksi-koleksinya dari beberapa sumber antara lain sumbangan dari orang-orang yang peduli terhadap kebudayaan Jawa khususnya, juga dari hasil pembelian, atau ada juga dari hasil penggalian. Museum Radya Pustaka mempekerjakan orang-orang yang ahli dan professional yang dapat melakukan perawatan dan pemeliharaan benda koleksi dengan kesalahan yang minim. Perpustakaan museum di museum sebagai penunjang pembelajaran, pendidikan dan penelitian masih terlihat sangat kecil yaitu dengan memanfaatkan sisi sebelah kiri ruang. Dengan jumlah pengunjung maksimal yang bisa masuk hanya sekitar 10 orang. Dengan begitu maka harus bergantian jika ingin belajar di perpustakaan tersebut. Namun koleksi buku kuno lumayan lengkap dengan tenaga pengajar yang berpengalaman di bidang sejarah dan budaya dapat menunjang dalam kegiatan pembelajaran. Museum Radya Pustaka sangat berperan dalam menjaga kelestarian budaya khususnya budaya Jawa dengan melakukan kegiatan-kegiatan pembinaan masyarakat di bidang budaya, kesenian, ilmu pengetahuan, dan bidang pariwisata. Ketika orang Jawa menganggap budayanya adiluhung, maka museum Radya Pustaka menyikapinya dengan menjadi fasilitas bagi pelestarian benda-benda hasil budaya dan pelestarian kegiatan-kegiatan budaya sehingga orang Jawa khususnya tidak kehilangan jatidirinya sebagai orang Jawa yang berbudaya Jawa. Strategi 1. Mengembalikan keberadaan museum kepada pemerintah karena merupakan cagar budaya atau bekerjasama antara pihak yayasan dan pihak pemerintah dalan pengelolaannya 2. Merevitalisasi dan memelihara bangunan fisik museum baik di luar gedung maupun di dalam gedung secara berkelanjutan 3. Menambah ruang konservasi, ruang audio visual maupun perpustakaan yang dapat menunjang media pembelajaran dan penelitian bagi pelajar, mahasiswa ataupun masyarakat umum. 4. Menambah, menjaga dan merawat koleksi musem Radaya Pustaka dengan dibantu oleh para budayawan terutama koleksi kitab kuno, wayang, gamelan dan batik sebagai warisan budaya dunia. 5. Mempromosikan keberadaan museum sebagai yaitu sebagi pusat penelitian dan pendidikan budaya khusunysa budaya Jawa melalui pemerintah kota, akademisis atau mahasiswa, swasta (budayawan dan LSM lainnya) dan masyarakat Surakarta. Kesimpulan Museum Radya Pustaka seharusnya bisa menjadi pusat pendidikan dan penelitian budaya Jawa. Hal itu dikarenakan banyaknya koleksi benda seni dan budaya Jawa yang berada di museum tersebut. Selain itu letaknya yang berada di Surakarta (sebagai ikon Jawa Tengah) juga akan dapat mengangakat nama museum tersebut ke dunia internasional, sebagaimana Kota Surakarta sudah mendunia. Museum yang telah menjadi cagar budaya tersebut juga perlu dilakukan revitalisasi setelah terjadinya kesepakatan kepemilikan lahan oleh pemerintah supaya kelihatan lebih menarik bagi para pengunjung. Di museum juga perlu ditambahkan mengenai hal – hal yang berkaitan dengan media pembelajaran yaitu ruang perpustakaan yang diperlebar, ruang audio vosual mengenai seni dan budaya, ruang observasi budaya, dan runag pendopo sebagai tempat berkumpul untuk berdiskusi masalah budaya. Perbaikan dan penambahan koleksi museum terutama batik Solo, wayang dan gamelan sebagai warisan budaya dunia menjadi hal yang segera perlu dilakukan mengingat nama museum yang sudah tercemar karena banyak benda koleksi museum yang dipalsukan. Dan cara lain yaitu hanya memamerkan replika koleksi , sedangakan yang asli disimpan jadi bila terjadi pencurian maka yang dicuri adalah replika koleksi. Banyaknya benda – benda museum yang hilang perlu menjadi perhatian khusus bagi para aktor manajemen museum Radya Pusataka. Para actor, yaitu yaitu Komite Museum Radya Pustaka, Pemerintah Kota melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala, Kemeterian Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, Akademisi Budaya dan Sejarah, Budayawan Surakarta, lembaga swasta lainnya dan tentu saja masyarakat seharusnya bisa saling bekerja sama dan profesionalitas dalam mengelola museum. Kualitas sumber daya manusia dan manajemen pengelolaan museum harus terlebih dahulu ditingkatkan sehingga sistem pengelolaan museum dapat terjadi secara professional. Sarana promosi melalui media elektronik maupun cetak harus selalu dilakukan guna memperbaiki nama museum tersebut seperti dahulu lagi. Selain itu peran aktif masyarakat dan budayawan juga dapat meningkatkan potensi yang terdapat dalam museum tersebut dengan cara terus menyumbangkan ide maupun benda budaya dan seni agar dapat melengkapi koleksinya untuk mengembangkan museum budaya tersebut sebagai pusat pendidikan dan penelitian budaya Jawa.

Selasa, 28 Desember 2010

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

A.PENGERTIAN
Pembangunan adalah seperangkat usaha yang terencana dan terarah untuk menghasilkan sesuatu yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan hidup manusia.
Berkelanjutan adalah kondisi kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam tak terbarukan. (UU No.26 tahun 2007)
Menurut World Comission on Environment and Development
Pembangunan berkelanjutan adalah suatu pola pemnbangunan yang bertujuan untuk mencukupi kebutuhan generasi penduduk masa kini tanpa membahayakan kemampuan generasi yang akan datang untuk mencukupi kebutuhannya.
Komisi Brundtland yang menyatakan bahwa
“pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka” (Fauzi, 2004).
Menurut Brundtland Report dari PBB, 1987
Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan". Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Menurut (Dr. Zulkifli)
Keberlanjutan pembangunan dapat didefinisikan dalam arti luas yaitu bahwa generasi yang akan datang harus berada dalam posisi yang tidak lebih buruk daripada generasi sekarang. Generasi sekarang boleh memiliki sumber daya alam serta melakukan berbagai pilihan dalam penggunaannya namun harus tetap menjaga keberadaannya, sedangkan generasi yang akan datang walaupun memiliki tingkat teknologi dan pengetahuan yang lebih baik serta persediaan kapital buatan manusia yang lebih memadai.
Pembangunan Berkelanjutan diatur dalam
UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup




B.SEJARAH
Di Eropa, ide pembangunan berkelanjutan pertama kali dikembangkan di bidang kehutanan. Seawal abad ke 13, di sana ada beberapa aturan tentang kesinambungan penggunaan kayu (Hukum kehutanan Nuremberg dari 1294). Masalah penebangan bersih (clear cut) tanpa memperhatikan penghutanan kembali telah didiskusikan oleh Carlowitz, seorang bangsawan dari Saxony dalam papernya: "Sylvicultura Oeconomica-instruksi untuk penanaman alamiah dari pohon liar" (1713). Calrowitz meminta untuk mempelajari "world’s book of nature". Ia meminta bahwa manusia harus menyelidiki aturan-aturan alam, dan selalu, secara terus menerus dan "perpetuirlich". Carlowitz memohon di dalam bukunya beberapa hal pada konstruksi
rumah seperti peningkatan isolasi melawan panas dan dingin, ia meminta penggunaan tungku pelebur dan kompor hemat energi, dan penghijauan terjadual dengan penanaman dan penebangan. Akhirnya, ia meminta "surrogata" atau "penggantian" fungsi daripada kayu .

Berdasarkan ide-ide ini Georg Ludwig Hartig mempublikasikan sebuah paper pada tahun 1795 yang berjudul, "Instructions for the taxation and characterization of forests", untuk menggunakan kayu seefektif mungkin, tetapi juga mempertimbangkan kebutuhan generasi yang akan datang . Ide mengenai pembangunan berkelanjutan telah lahir. Akan tetapi, tujuan ini sebenarnya lebih cenderung kepada ekonomi dan sosial alamiah. Perlindungan daripada
lingkungan dan alam adalah melebihi atau diluar ruang lingkup akhir-akhir ini. Prinsipprinsip awal ini mengenai pembangunan berkelanjutan hanya dibatasi pada bidang kehutanan dan tidak diperluas di bidang lainnya.

Istilah kesinambungan di dalam konteks perlindungan alam and biosfer duni pertama kali digunakan pada tahun 1980-an, di dalam program "World Nature Protection for Conservation of Nature (IUCN)" dan "World Wide Fund for Nature (WWF)". Ini artinya dan tujuannya adalah penggunaan sistem biologi yang ada tanpa mengubah karakterisktik esensialnya .
Ide dari konsep ini kemudian lebih lanjut diperluas dengan penggunaan "pembangunan berkelanjutan". Aspek ekonomi ditambahkan pada aspek ekologi dan sosial terdahulu seperti dinyatakan oleh the Brundtland Report pada 1987. Dari asal muasalnya pada istilah dan ide telah digunakan dan disempurnakan. Tanda kemajuan berikut dibentuk badan PBB "United Nations’s Conference on Environment and development" (UNCED) yang diselenggarakan di Rio de Janeiro. Sekitar 170 negara menandatangani Agenda 21 dengan "pembangunan berkelanjutan"
sebagai tujuan global (dunia). Karena karakter global dari Agenda 21 tidak
terlalu jelas pada beberapa aspek. Ini menggambarkan hanya pada tujuan global tetapi tidak menunjukkan jalan untuk mencapainya. Dengan demikian, ’spirit’ daripada Agenda 21 kelihatannya lebih penting daripada kata-kata dari dokumen: hanya kerja sama dan kemitraan global antar negara dapat memecahkan masalah ekologi dan sosial dunia yang sangat penting.

Di laporan akhir "Concept Sustainability, from Theory to Application" atau "Konsep
Kesinambungan, dari Teori sampai Aplikasi", aturan-auran umum telah didefinisikan Komisi juga menyatakan "pelestarian dan peningkatan ekologi, ekonomi, dan barang-barang sosial" sebagai tujuan utama pembangunan berkelanjutan. Itu menunjuk pada tiga kolom yang sama mengenai kesinambungan bertumpu pada ekologi, ekonomi, dan masyarakat. Laporan juga mendefinisikan langkah praktis dan cara-cara pada bagaimana mencapai tujuan kesinambungan. Pada bulan Juni 2001, anggota Uni Eropa bertemu di Goetheburg, Swedia untuk mendiskusikan masa depan Eropa dan mempertimbangkan petunjuk umum, pada kebijakan dengan hasil sebagai berikut:

Pembangunan berkesimbungan berarti memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa
membahayakan kebutuhan generasi yang akan datang. Dengan demikian, adalah
penting untuk membangun kebijakan ekonomi, ekologi, dan kebutuhan sosial
dengan cara sinergis yang mana mereka saling kuat-menguatan satu sama lain.
Jika ini tidak mungkin untuk memberhentikan kencenderungan yang mengancam
kualitas hidup yang akan datang, kebutuhan biaya dari masyarakat akan
meningkat secara dramatik dan tendensi negatif akan menjadi tidak dapat balik.
Konsul Eropa menerima dengan baik pengumuman Komisi Pembangunan Berkelanjutan
dengan solusi penting untuk memberhentikan kecenderungan negatif.

C.Ciri-ciri Pembangunan Berkelanjutan :
Menjamin pemerataan dan keadilan, yaitu generasi mendatang memanfaatkan dan melestarikan sumber daya alam sehingga berkelanjutan.
Menghargai dan melestarikan keanekaragaman hayati, spesies, habitat, dan ekosistem agar tercipta keseimbangan lingkungan
Menggunakan pendekatan intergratif sehingga terjadi keterkaitan yang kompleks antara manusia dengan lingkungan untuk masa kini dan mendatang
Menggunakan padangan jangka panjang untuk merencanakan rancangan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya yang mendukung pembangunan.
Meningkatkan kesejahteraan melalui pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana.
Memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan pemenuhan kebutuhan generasi mendatang dan mengaitkan bahwa pembangunan ekonomi harus seimbang dengan konservasi lingkungan.

D.Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan

Beberapa prinsip pembangunan berkelanjutan pilihan dari Deklarasi Rio
pada tahun 1992 adalah sebagai berikut (UNCED, The Rio Declaration on
Environment and Development, 1992 dalam Mitchell et al., 2003):


Prinsip 1: Manusia menjadi pusat perhatian dari pembangunan berkelanjutan.
Mereka hidup secara sehat dan produktif, selaras dengan alam.
Prinsip 2: Negara mempunyai, dalam hubungannya dengan the Charter of the
United Nations dan prinsip hukum internasional, hak penguasa utnuk
mengeksploitasi sumberdaya mereka yang sesuai dengan kebijakan
lingkungan dan pembangunan mereka……
Prinsip 3: Hak untuk melakukan pembangunan harus diisi guna memenuhi
kebutuhan pembangunan dan lingkungan yang sama dari generasi sekarang
dan yang akan datang.
Prinsip 4: Dalam rangka pencapaian pembangunan berkelanjutan,
perlindungan lingkungan seharusnya menjadi bagian yang integral dari proses
pembangunan dan tidak dapat dianggap sebagai bagian terpisah dari proses
tersebut.
Prinsip 5: Semua negara dan masyarakat harus bekerjasama memerangi
kemiskinan yang merupakan hambatan mencapai pembangunan
berkelanjutan…….
Prinsip 6: Untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan kualitas
kehidupan masyarakat yang lebih baik, negara harus menurunkan atau
mengurangi pola konsumsi dan produksi, serta mempromosikan kebijakan
demografi yang sesuai.
Prinsip 7: Negara harus memperkuat kapasitas yang dimiliki untuk
pembangunan berlanjut melalui peningkatan pemahaman secara keilmuan
dengan pertukaran ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dengan
meningkatkan pembangunan, adapatasi, alih teknologi, termasuk teknologi
baru dan inovasi teknologi.
Prinsip 8: Penanganan terbaik isu-isu lingkungan adalah dengan partisipasi
seluruh masyarakat yang tanggap terhadap lingkungan dari berbagai tingkatan.
Di tingkat nasional, masing-masing individu harus mempunyai akses terhadap
informasi tentang lingkungan, termasuk informasi tentang material dan
kegiatan berbahaya dalam lingkungan masyarakat, serta kesempatan untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Negara harus
memfasilitasi dan mendorong masyarakat untuk tanggap dan partisipasi
melalui pembuatan informasi yang dapat diketahui secara luas.
Prinsip 9: Dalam rangka mempertahankan lingkungan, pendekatan
pencegahan harus diterapkan secara menyeluruh oleh negara sesuai dengan
kemampuannya. Apabila terdapat ancaman serius atau kerusakan yang tak
dapat dipulihkan, kekurangan ilmu pengetahuan seharusnya tidak dipakai
sebagai alasan penundaan pengukuran biaya untuk mencegah penurunan
kualitas lingkungan.
Prinsip 10: Penilaian dampak lingkungan sebagai instrumen nasional harus
dilakukan untuk kegiatan-kegiatan yang diusulkan, yang mungkin mempunyai
dampak langsung terhadap lingkungan yang memerlukan keputusan di tingkat
nasional.
Prinsip 11: Wanita mempunyai peran penting dalam pengelolaan dan
pembangunan lingkungan. Partisipasi penuh mereka perlu untuk mencapai
pembangunan berlanjut.
Prinsip 12: Penduduk asli dan setempat mempunyai peran penting dalam
pengelolaan dan pembangunan lingkungan karena pemahaman dan
pengetahuan tradisional mereka. Negara harus mengenal dan mendorong
sepenuhnya identitas, budaya dan keinginan mereka serta menguatkan
partisipasi mereka secara efektif dalam mencapai pembangunan berkelanjutan.

E.Syarat-syarat untuk tercapainya proses pembangunan berkelanjutan
1.Pro Ekonomi Kesejahteraan, maksudnya adalah pertumbuhan ekonomi ditujukan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat, dapat dicapai melalui teknologi
inovatif yang berdampak minimum terhadap lingkungan.
2.Pro Lingkungan Berkelanjutan, maksudnya etika lingkungan non antroposentris
yang menjadi pedoman hidup masyarakat, sehingga mereka selalu mengupayakan
kelestarian dan keseimbangan lingkungan, konservasi sumberdaya alam vital, dan
mengutamakan peningkatan kualitas hidup non material.
3.Pro Keadilan Sosial, maksudnya adalah keadilan dan kesetaraan akses terhadap
sumberdaya alam dan pelayanan publik, menghargai diversitas budaya dan kesetaraan jender


F.Empat dimensi dalam Pembangunan Berkelanjutan :
1.Intra generation dimension
Dimensi pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada generasi saat ini, yaitu sejum;ah penduduk yang menempati wilayah tertentu pada kurun waktu saat ini.
2.Inter generation dimension
Dimensi pembangunan berkelanjutan yang berorientasi pada generasi yang akan datang, yaitu sejum;ah penduduk yang menempati wilayah tertentu pada kurun waktu yang akan datang dalam lingkup ruang dan waktu tertentu.
3.Intra regional dimension
Pembangunan yang dilaksanakan berorientasi pada upaya pemenuhan kebutuhan wilayah akan infrastrukrut wilayah untuk menunjang hubungan internal maupun eksternal dalam rangka upaya perbaikan wilayah khususnya upaya meningkatkan kualitas lingkungan wilayah baik lingkungan abiotik, biotic maupun sosio- kulturnya.
4.Inter regional dimension
Pembangunan di suatu wilayah tidak hanya menimbulkan dampak positif pada wilayah itu sendiri namun juga menimbulkan dampak positif bagi wilayah lain

G.Aspek Pembangunan Berkelanjutan
Haris (2000) dalam Fauzi (2004)
melihat bahwa konsep keberlanjutan dapat diperinci menjadi tiga aspek
pemahaman, yaitu:
1.Keberlanjutan ekonomi, yang diartikan sebagai pembangunan yang
mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara
keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya
ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan
industri.
2.Keberlanjutan lingkungan: Sistem yang berkelanjutan secara lingkungan
harus mampu memelihara sumberdaya yang stabil, menghindari
eksploitasi sumberdaya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep
ini juga menyangkut pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas
ruang udara, dan fungis ekosistem lainnya yang tidak termasuk kategori
sumber-sumber ekonomi.
3.Keberlanjutan sosial: Keberlanjutan secara sosial diartikan sebagai
sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial
termasuk kesehatan, pendidikan, gender, dan akuntabilitas politik.

Menurut Munasinghe (1993), pembangunan berkelanjutan mempunyai
tiga tujuan utama, yaitu: tujuan ekonomi (economic objective), tujuan ekologi
(ecological objective) dan tujuan sosial (social objective). Tujuan ekonomi
terkait dengan masalah efisiensi (efficiency) dan pertumbuhan (growth); tujuan
ekologi terkait dengan masalah konservasi sumberdaya alam (natural
resources conservation); dan tujuan sosial terkait dengan masalah
pengurangan kemiskinan (poverty) dan pemerataan (equity).








H.Tolak Ukur Pembangunan berkelanjutan
Prof. Otto Soemarwoto dalam Sutisna (2006), mengajukan enam tolok ukur pembangunan
berkelanjutan secara sederhana yang dapat digunakan baik untuk pemerintah pusat maupun di
daerah untuk menilai keberhasilan seorang Kepala Pemerintahan dalam pelaksanaan proses
pembangunan berkelanjutan. Keenam tolok ukur itu meliputi:
a) pro lingkungan hidup;
b) pro rakyat miskin;
c) pro kesetaraan jender;
d) pro penciptaan lapangan kerja;
e) pro dengan bentuk negara kesatuan RI dan
f) harus anti korupsi, kolusi serta nepotisme. Berikut ini penjelasan umum dari masing-masing
tolok ukur.
Tolok ukur pro lingkungan hidup (pro-environment) dapat diukur dengan berbagai indikator. Salah satunya adalah indeks kesesuaian,seperti misalnya nisbah luas hutan terhadap luas wilayah (semakin berkurang atau tidak), nisbah debit air sungai dalam musim hujan terhadap musim kemarau, kualitas udara, dan sebagainya. Berbagai bentuk pencemaran lingkungan dapat menjadi indikator yang mengukur keberpihakan pemerintah terhadap lingkungan. Terkait dengan tolok ukur pro lingkungan ini, Syahputra (2007) mengajukan beberapa hal yang dapat menjadi
rambu-rambu dalam pengelolaan lingkungan yang dapat dijadikan indikator, yaitu:
a. Menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi secara benar
menurut kaidah ekologi.
b. Pemanfaatan sumberdaya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi
potensi lestarinya serta upaya mencari pengganti bagi sumberdaya takterbarukan (nonrenewable
resources).
c. Pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas
asimilasi pencemaran.
d. Perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan
(carrying capacity).
Tolok ukur pro rakyat miskin (pro-poor) bukan berarti anti orang kaya. Yang dimaksud pro rakyat miskin dalam hal ini memberikan perhatian pada rakyat miskin yang memerlukan perhatian khusus karena tak terurus pendidikannya, berpenghasilan rendah, tingkat kesehatannya juga rendah serta tidak memiliki modal usaha sehingga daya saingnya juga rendah. Pro rakyat miskin dapat diukur dengan indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) dan Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) atau Human Poverty Index (HPI) yang dikembangkan PBB. Kedua indikator ini harus dilakukan bersamaan sehingga dapat dijadikan tolok ukur pembangunan yang menentukan. Nilai HDI dan HPI yang meningkat akan dapat menunjukkan pembangunan yang pro pada rakyat miskin.
Tolok ukur pro kesetaraan jender/pro-perempuan (pro-women), dimaksudkan untuk lebih banyak membuka kesempatan pada kaum perempuan untuk terlibat dalam arus utama pembangunan. Kesetaraan jender ini dapat diukur dengan menggunakan Genderrelated. Develotmenta.Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM) untuk suatu daerah. Jika nilai GDI mendekati HDI, artinya di daerah tersebut hanya sedikit terjadi disparitas jender
dan kaum perempuan telah semakin terlibat dalam proses pembangunan.
Tolok ukur pro pada kesempatan hidup atau kesempatan kerja
(pro-livelihood opportunities) dapat diukur dengan menggunakan berbagai indikator seperti misalnya indikator demografi (angkatan kerja, jumlah penduduk yang bekerja, dan sebagainya), index gini, pendapatan perkapita, dan lain-lain. Indikator Kesejahteraan Masyarakat juga dapat menjadi salah satu hal dalam melihat dan menilai tolok ukur ini
Tolok ukur pro dengan bentuk negara kesatuan RI merupakan suatu keharusan, karena
pembangunan berkelanjutan yang dimaksud adalah untuk bangsa Indonesia yang berada dalam kesatuan NKRI.
Tolok ukur anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dapat dilihat dari berbagai kasus yang dapat diselesaikan serta berbagai hal lain yang terkait dengan gerakan anti KKN yang digaungkan di daerah bersangkutan.

I.Strategi dalam Pembangunan Berkelanjutan
•Pemanfaatan energy dan pemeliharaan kualitas udara.
•Pemanfaatn lahan dan ruang terbuka hijau di kota
•Pemanfaatan air, bahan bangunan dan pemanfaatan limbah
•Kebijakan dalam bidang transportasi
•Kesehatan, kenyamanan, ketentraman dan ketenangan hidup.

J.Pembangunan Berkelanjutan dalam Analisis Sumber Daya dan Lingkungan
Pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan terhadap sumber daya alam yang ada dengan memperhatikan lingkungan secara keseluruhan, sebagai komponen yang penting pada sistem penyangga kehidupan untuk penyerasi dan penyimbang lingkungan global, sehingga keterkaitan dunia internasional menjadi hal penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional.
Menurut Emil Salim, ciri pokok pola Pembangunan berkelanjutan secara iksplisit ambang batas keberlanjutan dalam proses pembangunan yang sedang berlangsung. Kegiatan pembangunan yang mengolah sumber daya alam dan sumber daya manusia terdapat suatu ambang batas di dalam proses pembangunan berkelanjutan. Dalam proses ini banyak mengalami gangguan atau titik kritis seperti hutan yang dibabat terus-menerus, pasti akan habis dan menimbulkan bencana lingkungan berupa kerusakan hutan, keanekaragaman hayati yang hilang, tanah longsor, banjir, pencemaran, dan lain-lainnya).
Pengelolaan dan pendayagunaan sumber daya terdapat 2 (dua) titik ambang batas keberlanjutan yaitu:
a. Ambang batas keberlanjutan lingkungan, ditentukan oleh batasan daya serap pencemaran oleh lingkungan alam satu sisi, dan batas pengelolan sumber daya alam tanpa kerusakan serta degradasi lingkungan;
b. Ambang batas keberlanjutan sosial, ditentukan oleh batasan bagi terpeliharanya hubungan yang serasi, selaras, dan seimbang antara manusia dengan sesama manusia, antara manusia dengan masyarakatnya, dan antara sesama kelompok sosial di dalam dan diluar negeri. .
Kebijakan dalam pembangunan keberlanjutan lingkungan harus memperhatikan ambang batas di atas, yakni dengan melakukan studi kelayakan berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau (AMDAL) yang diatur pada PP No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan penataan ruang wilayah pembangunan. Dengan adanya Amdal ini akan bisa mengukur tingkat suatu proyek pembangunan itu sesuai dengan kelayakan lingkungan. Seberapa besar dampak pembangunan dan dampak yang akan di timbulkan sesuai dengan ambang batas .
Masalah di negeri ini adalah, banyak Amdal dibuat tidak sesuai dengan kondisi lingkungan, hal ini disebabkan pola penerapan yang salah selama ini, seharusnya Amdal dibuat dulu, baru izin pembangunan proyek keluar. Seperti dalam kasus lumpur lapindo Sidarjo. Bencana Lumpur yang ditimbulkan karena Menyalahi Amdal.. dan ironisnya semua pihak hanya bisa saling menyalahkan. Terbitnya UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup, memberi harapan baru dalam pemberian sanksi bagi pembangunan yang tidak dilengkapi Amdal, oknum yang membuat Amdal tidak berkompenten atau tidak ada sertifikasi Amdal. hal ini untuk menutup praktek-praktek yang ada dalam pembuatan Amdal, bukan rahasia umum, bahwa Amdal yang dibuat hanya bersifat copy paste, sehingga riset terhadap pembangunan yang dilakukan tidak memenuhi standar kelayakan dalam proses pembangunan.
K. Peran Tata Ruang Dalam Pembangunan Kota Berkelanjutan
Terkait dengan pembangunan perkotaan, maka kota yang menganut paradigma pembangunan berkelanjutan dalam rencana tata ruangnya merupakan suatu kota yang nyaman bagi penghuninya, dimana akses ekonomi dan sosial budaya terbuka luas bagi setiap warganya untuk memenuhi kebutuhan dasar maupun kebutuhan interaksi sosial warganya serta kedekatan dengan lingkungannya. Menurut Budimanta (2005), bila kita membandingkan wajah kota Jakarta dengan beberapa kota di Asia maka akan terlihat kontras pembangunan yang dicapai. Singapura telah menjadi kota taman, Tokyo memiliki moda transportasi paling baik di dunia, serta Bangkok sudah berhasil menata diri menuju keseimbangan baru ke arah kota dengamenyediakan ruang yang lebih nyaman bagi warganya melalui perbaikan moda transportasinya.

Perbedaan terjadi karena Jakarta menerapkan cara pandang pembangunan konvensional yang melihat pembangunan dalam konteks arsitektural, partikulatif dalam konteks lebih menekankan pada aspek fisik dan ekonomi semata. Sedangkan ketiga kota lainnya menerapkan cara pandang pembangunan berkelanjutan dalam berbagai variasinya, sehingga didapatkan kondisi ruang kota yang lebih nyaman sebagai ruang hidup manusia di dalamnya. Menurut Budihardjo (2005), rencana tata ruang adalah suatu bentuk kebijakan publik yang dapat mempengaruhi keberlangsungan proses pembangunan berkelanjutan. Namun masih banyak masalah dan kendala dalam implementasinya dan menimbulkan berbagai konfl ik kepentingan. Konflik yang paling sering terjadi di Indonesia adalah konflik antar pelaku pembangunan yang terdiri dari pemerintah (public sector), pengusaha atau pengembang (private sector), profesional (expert), ilmuwan (perguruan tinggi), lembaga swadaya masyarakat, wakil masyarakat, dan segenap lapisan masyarakat.

Konflik yang terjadi antara lain: antara sektor formal dan informal atau sektor modern dan tradisional di perkotaan terjadi konfl ik yang sangat tajam; proyek “urban renewal” sering diplesetkan sebagai “urban removal”; fasilitas publik seperti taman kota harus bersaing untuk tetap eksis dengan bangunan komersial yang akan dibangun; serta bangunan bersejarah yang semakin menghilang berganti dengan bangunan modern dan minimalis karena alasan ekonomi. Dalam kondisi seperti ini, maka kota bukanlah menjadi tempat yang nyaman bagi warganya. Kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan cenderung dikibarkan sebagai slogan yang terdengar sangat indah, namun kenyataan yang terjadi malah bertolak belakang.


Perencanaan Wilayah dan Kota
Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret
Surakarta

Minggu, 19 Desember 2010

Sejarah Perencanaan Kota di Indonesia

Sejarah perencanaan kota di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah pendudukan kolonial Belanda yang berlangsung selama hampir 350 tahun. Pada tahap-tahap awal perkembangannya, kota-kota di Nusantara tidak memiliki basis perencanaan yang dapat dipelajari oleh generasi saat ini. Untuk menyebutkan sebuah “kota” pada masa pra-kolonial, berarti kota-kota kerajaan yang berkembang saat ini. Masalah yang terkait dengan urbanisasi sama sekali tidak pernah dicatat dan menjadikan sedikit sekali yang diketahui tentang perencanaan kota pra-kolonial.
Perencanaan sendiri merupakan preseden modern yang melibatkan kemampuan untuk mengatasi masalah melalui intervensi yang sifatnya teknis dan rasional. Hal ini semakin mengaburkan keberadaan perencanaan kota-kota kerajaan yang saat itu sebenarnya sudah muncul. Dalam konteks perencanaan kota saat itu, pengaruh kepercayaan terhadap Roh atau Kekuatan Alam menentukan pola pengaturan ruang masyarakat. Meskipun dapat ditelusuri bahwa pola pengaturan ini berkaitan erat dengan praktek kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat dan terkait pula dengan hirarki sosial yang terbentuk saat itu. Pola ruang ditentukan oleh pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap keseimbangan kekuatan alam dan roh. Raja, sebagai penguasa wilayah yang berada di kota, merupakan pusat dari kekuatan penyeimbang tersebut, sehingga menempati kedudukan sentral pada sebuah kota.
Dalam hal tersebut, perencanaan kota di Indonesia tidak diawali dari sesuatu yang disebut “masalah perkotaan”. Pengetahuan dan praktek lokal menentukan pola pengaturan ruang dalam upaya penyeimbangan antara kekuatan roh, alam, dan hubungan antarmanusia. Praktik seperti ini masih sangat kental untuk warga kota di Bali, meskipun diterapkan semakin terbatas karena pengaruh kapitalisme ruang yang tidak dapat dibendung.
Pada pengetahuan lokal tersebut, ruang diatur dengan pusat sentral di tengah-tengah kota. Ada elemen-elemen umum yang berada di pusat, seperti tempat kediaman raja, alun-alun, atau pasar. Di sekeliling dari pusat adalah rumah kediaman para pembantu raja yang kemudian menyebar ke seluruh bagian kota sebagai permukiman warga kota biasa.
Evers dan Korff (2000) menyebut adanya tiga tipe dari kota-kota di Asia Tenggara. Pertama adalah kota di pedalaman yang merupakan pusat pengaruh dari wilayah pinggiran yang tunduk karena kekuatan Ilahi dari penguasa yang berkediaman. Kedua, kota di pesisir yang berorientasi kepada perdagangan yang lebih terbuka dari berbagai tempat. Ketiga, adalah kota-kota kecil yang menjadi simpul perdagangan antara kota dagang dan kota-kota suci. Dalam bentuk yang paling awal, kota yang pertama muncul lebh banyak, sebelum perdagangan dengan daerah-daerah di seberang lautan semakin intensif, seperti kota-kota Islam awal. Ketika penjelajahan samudera oleh orang Eropa semakin sering dilakukan, maka kota-kota di pesisir (kota dagang) menjadi sasaran empuk bagi penguasaan ekonomi global. Hal ini perlahan-lahan mengurangi pengaruh kekuatan kota-kota di pedalaman (kota suci) yang semakin terputus interaksi ekonomi maupun dukungan atas pajak dan pengaruh politik. Perpindahan penduduk ke pesisir sama sekali tidak diantisipasi sebelumnya, sehingga tidak ada cara-cara sistematis untuk mencegah hal tersebut. Perencanaan kota pada kota-kota Nusantara pada tahal awal ini kurang mampu mengatasi peran strategis yang harus dimiliki sebuah kota.
Pergeseran kota-kota ke arah pesisir muncul seiring dengan interaksi dengan warga dari berbagai bangsa. Tumbuhnya kota-kota pesisir pada tahap awal dimulai oleh perdagangan antarbangsa yang kemudian menciptakan struktur penduduk baru yang didasarkan atas pola hubungan dagang. Penyebaran agama Islam yang intensif menciptakan pusat-pusat baru kekuasaan yang semakin mengurangi daya magis kekuasaan lama di pedalaman. Perubahan struktur penduduk ini menciptakan elemen-elemen penting sebuah kota, terutama untuk mendukung kehidupan kota. Dibangunnya elemen-elemen utama, seperti pelabuhan, masjid, dan pasar yang lebih besar merupakan tanggapan atas perkembangan baru saat itu. Dalam banyak hal, “perencanaan” masih belum muncul dalam masyarakat Nusantara yang tengah berubah pesat dalam bidang ekonomi ini.
Masuknya penjajah kolonial dimulai dari kota-kota yang menjadi pusat perdagangan utama. Batavia adalah salah satunya. Elite kota adalah orang-orang Belanda wakil VOC. Urbanisasi, meskipun dalam taraf yang masih rendah, memberikan tekanan terhadap kota yang multikultural. Persoalan yang dihadapi oleh pemerintah kolonial untuk menjaga kepentingannya adalah melalui pengaturan ruang kota yang membagi lahan-lahan di dalam kota untuk kelompok-kelompok bangsa. Hal ini digambarkan oleh Karsten dengan kondisi perumahan orang-orang Eropa yang tinggal di rumah-rumah ‘India Kuno’ yang besar dan luas dengan pekarangan yang terhampar. Kampung-kampung dideskripsikan dengan lingkungan yang sangat luas, tetapi bangunannya tetap primitif dan tidak tertata. Sejumlah kebun berada di atas tanah kosong ini. Areal kampung ini mencerminkan karakter desa yang sangat kental. Sementara itu, orang China diharuskan untuk tinggal di dalam kamp China yang didirikan bersama dengan orang Belanda pada abad ke-17 dan 18, dengan fasilitas yang luas. Golongan kolonial yang kurang beruntung tinggal di koridor jalan utama maupun di kawasan kota lama. Inilah adalah bentuk pengaturan awal yang muncul dari tata kota.
Dilihat dari struktur ruang, tidak ada perubahan berarti dibandingkan dengan struktur ruang tradisional yang diambilkan dari kota-kota Jawa. Kota Batiavia dibangun dengan jalan besar yang melingkari kota dan dilengkapi dengan alun-alun yang luas. Sama halnya dengan Bandung yang baru dipindahkan dari Dayeuh Kolot (untuk dijadikan pusat pemerintahan dan mengatasi persoalan banjir di Citarum) dirancang dengan pusat pemerintahan dan agama yang mengelilingi alun-alun, dengan tempat tinggal penduduk biasa berkelompok di sekitarnya. Lorong-lorong kecil menembus kawasan pusat dengan bagian kiri dan kanan berpagar rangkaian bamboo. Jalan-jalan diperkeras dengan pecahan batu atau kerikil yang ditimbris sehingga dapat digunakan untuk berjalan. Rumah-rumah berjarak satu dengan yang lainnya sehingga menyediakan ruang untuk kebun dan pohon.
Pemisahan ruang masih merupakan ciri dari kota kolonial, yang terutama didasarkan atas kebangsaan. Orang-orang pribumi menempati bagian selatan beserta alun-alun, Mesjid Agung, yang dibangun dengan biaya pemerintah tahun 1850, beserta rumah bupati dan jabatan penting pribumi. Sementara itu, di bagian utara ditempati oleh orang-orang Eropa, termasuk Asisten Residen. Pengaturan ini, oleh Voskuil (2006) didasarkan terutama oleh tingkat kesejahteraan, namun lebih mencerminkan segregasi spasial. Kini, di permukiman utara pun masih ditemukan adanya kantong-kantong permukiman miskin baru.
Salah satu tonggak penting dalam pengelolaan kota di Indonesia adalah munculnya undang-undang desentralisasi yang memungkinkan pemerintah kota mengatur urusan kotanya sendiri. Kota-kota di Indonesia kemudian memberlakukan peraturan bangunan, seperti Bataviasche Plannerorderning 1941, Bataviasche Bestemingkringe en Bouwtypenverordening 1941, dan Bataviasche Bouwverordening 1919 – 1941. Semua peraturan tersebut masih berorientasi kepada fisik kota. Dengan perhatian Thomas Karsten tahun 1920 dalam laporan Town Planning in Indonesia, maka terbentuk Komite Perencanaan Kota oleh pemerintah kolonial yang menghasilkan RUU tentang perencanaan kota pertama di Indonesia yang kemudian menjadi SVV dan SVO.
Kota-kota paska-kemerdekaan adalah kota-kota besar yang menjadi tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan nasional. Kota-kota ini mengalami pertumbuhan yang pesat karena migrasi masuk. Selain itu, terjadinya baby boom yang turut melanda Indonesia paska-Perang Dunia Kedua. Pada saat tersebut, kondisi infrastruktur masih kurang baik. Rencana Lima Tahun Pertama (1956 – 1960) dibuat, yang kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Komite Perencanaan Nasional. Komite ini membuat Rencana Pembangunan Delapan Tahun (1961 – 1968). Kedua rencana tersebut sangat ambisius dengan tidak memperhatikan ketersediaan dana dan daya dukung ekonomi. Masalah yang dihadapi kota-kota di Indonesia adalah bidang ekonomi yang ditandai dengan tingkat inflasi tinggi. Pembangunan infrastruktur pun direncanakan sebagai bagian dari unjuk kekuatan ekonomi Indonesia yang sebenarnya sangat rapuh oleh Presiden Soekarno, sebagai simbol New Emerging Forces of the World (Winarso, 1999).
Pada masa pemerintahan Orde Baru, dengan gaya kepemimpinan nasional yang lebih rasional, maka disusun perencanaan yang sifatnya bertahap atau dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun. Namun, kota-kota masih belum menjadi fokus dari kebijakan di dalamnya. Pada tahun 1970, rencana pada tingkat regional muncul dengan Rencana Jabotabek yang diikuti dengan perencanaan-perencanaan untuk proyek khusus yang didanai oleh lembaga-lembaga internasional. Salah satunya adalah KIP (Kampong Improvement Programme) yang dilaksanakan pada akhir tahun 1970-an.
Secara sistematis, kelembagaan perencanaan diwujudkan mulai dari level nasional hingga ke daerah (BAPPEDA). Dengan adanya UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah, perencanaan daerah berkembang menjadi kewajiban bagi daerah dalam penyelenggaraannya.
Pada tahu 1980, Nasional Urban Development Strategy berhasil dirumuskan. Tahun ini adalah tonggak bagi perencanaan spasial yang mengambil gagasannya dari gaya perencanaan di Inggris (Winarso, 1999). Mengintegrasikan rencana pengembangan dan perencanaan fisik menjadi bagian dari program IUIDP (Integrated Urban Infrastructure Development Program). IUIDP dapat dikatakan berhasil untuk mengintegrasikan investasi publik untuk meningkatkan produktivitas kota dan mengarahkan investasi swasta. Pada tahun 1992, lahir UU No. 24 Tahun 1994 tentang Penataan Ruang yang lebih tegas mengarahkan perencanaan pada berbagai tingkatan dan menciptakan integrasi ruang antartingkatan tersebut. Meskipun sangat kental bercorak top-down, lahirnya UU tersebut mempengaruhi praktek perencanaan di Indonesia berikutnya. Lahirnya PP No. 69 Tahun 1996 tidak banyak berpengaruh terhadap pendekatan perencanaan yang lebih partisipatif karena perencanaan belum mampu mengikutsertakan masyarakat ke dalam bentuk paritisipasi yang lebih nyata, ketimbang sekedar informasi dan konsultasi.
Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi yang sangat berat. Kota-kota mengalami masalah akut terkait mandegnya investasi dan kondisi perekonomian warga. Dalam kondisi yang demikian, kota-kota besar justru tidak dapat diharapkan dalam mengatasi kecenderungan terhadap penurunan kualitas kota-kota di Indonesia. Gaya perencanaan yang cenderung top-down dengan menempatkan kota-kota utama sebagai motor penggerak ekonomi ternyata tidak berhasil. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan perencanaan spasial yang demikian telah mengalami kegagalan, yang kemudian memberikan pelajaran berharga dalam menyusun UU Penataan Ruang yang baru (yang dimaksud adalah UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). UU Pemerintahan Daerah yang dikeluarkan tahun 1999 yang kemudian direvisi di dalam UU No. 32 Tahun 2004, memberikan ketegasan tentang kewenangan pemerintah daerah dalam kerangka otonomi. UU NO. 32 Tahun 2004 memungkinkan pengelolaan kota yang dilakukan bersama antardaerah otonom.
Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 memberikan peluang bagi pendekatan-pendekatan yang berbeda untuk muncul ke permukaan. Pendekatan didasarkan atas potensi dan kendala yang dihadapi oleh kota-kota, baik itu fisik, ekonomi, dan budaya. Selain itu, secara hubungan spasial antara wilayah tidak lagi didominasi hubungan antara pusat – pinggiran, melainkan berkembangkan menjadi hubungan-hubungan yang sifatnya lebih self-sustai dengan memperhatikan peluang pasar ke luar. Disini, perencanaan spasial menjadi bersifat strategis, ketimbang memperkuat hubungan ‘tradisional’ kota dengan wilayah sekitarnya sebagai hubungan pusat – pinggiran.
Dibalik perencanaan kota yang disebut mainstream (formal) pengaruh-pengaruh perencanaan yang berkembang di dunia barat pun turut mempengaruhi gagasan perencana di Indonesia. Beberapa perencana bergerak di bidang advokasi dan pendampingan masyarakat yang memungkinkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber kekuasaan untuk mempengaruhi kebijakan publik. Mereka ini bergabung ke dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Meskipun demikian, praktek-praktek ini pun tidak dapat dilepaskan dari “pesanan” organisasi-organisasi internasional yang menginginkan perubahan dalam demokrasi masyarakat Indonesia yang tengah mengalami transisi.
Dari rangkaian praktek dan pengetahuan perencanaan yang terakumulasi di atas, kita melihat perkembangan perencanaan kota di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kehadiran penjajah kolonial di bumi Nusantara. Secara indigenous, perencanaan kota yang disebut ‘Indonesia’ hampir tidak tidak muncul ke permukaa. Perencanaan seringkali diarahkan oleh inovasi perencanaan yang berkembang di dunia Barat. Meskipun demikian, paska-kemerdekaan perkembangan perencanaan sangat pesat dan masih belum jelas arah dari perencanaan kita pada masa mendatang. Semecam otokritik perlu dialamatkan, bahwa dari pengalaman selama ini sekolah perencanaan seakan menjadi persiapan untuk menjadi birokrat (Winarso, 1999), sehingga kurang memberikan gambaran tentang perencanaan kota yang benar-benar dibutuhkan selama ini dalam teori dan praktek. Tentu saja, dengan demikian, tidak dapat diharapkan untuk meramalkan wajah perencanaan pada masa depan. Praktek-praktek yang berkembang di luar jalur formal tersebut seringkali menjadi good practice yang belum terlembagakan dengan baik ke dalam sistem perencanaan kita, seperti perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) oleh Johan Silas dan Hasan Poerbo.

Sejarah Perencanaan Kota
Walaupun pada konteks sejarah kota, banyak literatur yang mengatakan kota-kota yang dibangun pada awal sejarah peradaban tidak direncanakan, namun di sisi lain banyak juga yang berpendapat bahwa pemimpin dan masyarakat pada masa tersebut telah bersentuhan dengan aspek perencanaan dalam pembangunan kota dan permukimannya. Dijelaskan oleh Smith (2007), kota yang direncanakan selalu diidentikkan dengan bentuk orthogonal sehingga kota yang jauh dari kesan tersebut dianggap tidak direncanakan. Anggapan tersebut kemudian tidak lagi menjadi sebuah pandangan ketika melihat perencanaan kota bukan pada dikotomi direncanakan dan tidak direncanakan yang pada akhirnya melihat perencanaan hanya pada bentuk spasialnya saja. Tetapi yang perlu dikaji lebih jauh dari kota-kota pada awal peradaban tersebut adalah adanya keragaman bentuk perencanaan sebagai bagian dari visi kebijakan politik dalam usaha produktivitas kawasan. Karena pada dasarnya kota dibangun dengan latar belakang berbeda-beda dengan bentuk beragam sesuai dengan fungsi-fungsi yang terdapat di kota tersebut.3
Kemudian oleh Smith (2007), perencanaan yang terdapat di dalam perkembangan kota-kota di awal peradaban tersebut dibagi ke dalam 2 (dua) komponen yaitu:
1. koordinasi antara bangunan dan ruang di dalam kota yang didasarkan pada: (1) penataan bangunan, (2) formalitas dan monumentalitas dari layout, (3) derajat orthogonal, (4) bentuk-bentuk lain geomatri, dan (5) akses serta derajat kenampakan;
2. standarisasi kota yang didasarkan pada: (1) ide-ide arsitektural kota, (2) pola spasial, (3) orientasi dan metrology.4
Parameter-parameter tersebut bertahan hingga masa Revolusi Industri pada abad ke-18. Namun, dengan perubahan besar yang terjadi dalam kehidupan masyarakat paska Revolusi Industri telah mengubah paradigma dalam perencanaan kota. Pertumbuhan penduduk yang meningkat tajam terutama di kota-kota industri di dunia secara langsung telah mengubah bentuk ruang kota, tidak hanya lebih meluas tetapi juga mengalami degradasi lingkungan. Timbulnya kesemrawutan dalam perkembangan ruang yang terjadi merupakan implikasi besar dari pertumbuhan dan perkembangan kegiatan ekonomi dunia. Ekonomi tidak lagi digerakkan pada kegiatan pertanian dan juga industri manual yang hanya memiliki ruang lingkup kecil. Tetapi ekonomi telah digerakkan oleh kegiatan industri massal skala besar yang kemudian menjadikan kota sebagai pusatnya. Ketika orientasi ekonomi dunia mengarah pada industri-industri besar yang ada di kota maka kegiatan pertanian yang selama ini masih masih menjadi mayoritas komoditas ekonomi kemudian beralih. Pekerja industri menjadi sebuah mata pencaharian baru. Migrasi ke kota atau yang kemudian disebut sebagai urbanisasi adalah sebuah fenomena besar yang pada akhirnya, sampai saat ini, menjadi sangat umum terjadi dalam merespon sebuah peluang ekonomi baru yang dirasa banyak terdapat di kota. Hal tersebut turut pula didukung oleh perkembangan pemikiran-pemikiran baru baik dalam aspek sosial maupun ekonomi. Ketika kapitalisme sangat mendukung perkembangan pesat ekonomi indutri maka kemudian muncul sosialisme sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan yang terjadi. Secara normatif kemudian banyak bermunculan konsep-konsep perencanaan yang mencoba mengakomodir dan mengantisipasi kemajuan peradaban manusia tersebut.
Bisa dibayangkan ketika kota tidak lagi sebuah entitas yang berpenghunikan ribuan orang tetapi telah berubah menjadi ratusan ribu orang bahkan berjuta-juta orang. Pun tidak hanya sekedar kuantitas penduduk yang berkembang tetapi juga kegiatan yang berlangsung di kota tersebut. Mekanisasi yang menggerakkan sektor industri telah merubah seluruh komponen kota. Tidak lagi kuda-kuda dengan gerobaknya yang akan mengangkut hasil-hasil produksi. Tetapi telah berkembang menjadi kereta api yang pada perkembangan selanjutnya kota kemudian penuh dengan mobil dan motor sebagai sarana pengangkut. Ketika kota telah menjadi sebuah tumpuan ekonomi kesejahteraan bagi para penduduknya yang kian bertambah, maka tak ayal lagi kota diharuskan dapat mendukung segala perkembangan yang ada. Konsekuensi yang dibutuhkan tentu adalah kebijakan terhadap pertumbuhan dan perkembangan kota itu sendiri. Tidak dalam kerangka kota secara individual saja tetapi kemudian melibatkan bahkan kemudian membentuk sebuah interaksi dengan kawasan-kawasan sekitarnya.
Nilai-nilai perencanaan sendiri berkembang dengan akar yang telah ada sejak kota-kota pada awa peradaban. Akar pertama menilik dari sisi administratif dan manajerial yang berusaha menyediakan kebutuhan bagi para komunitas kota terhadap pelayanan-pelayanan publik. Air minum, sanitasi, drainase, dan komunikasi. Perkembangan yang terjadi saat ini, pelayanan-pelayanan publik tersebut menjadi semakin luas dan kompleks karena tidak lagi menjangkau area kota dengan luas yang relatif kecil tetapi menjadi area perkotaan yang jauh lebih luas dengan konsentrasi penduduk yang jauh lebih tinggi. Akar kedua perencanaan berhubungan dengan aspek fisik kawasan yang terkait dengan penggunaan lahan, jaringan transportasi, dan pembangunan proyek skala besar. Sejak awal mula kota dibangun, aspek pembagian lahan yang kemudian membagi kawasan berdasarkan kelas ataupun kegiatannya memang telah terjadi. Bahkan saat ini hal tersebut semakin penting untuk dilakukan sebagai bentuk regulasi yang dapat mengontrol pertumbuhan kota.5
Profesi perencana sendiri pada awal mulanya berasal dari latar belakang yang erat kaitannya dengan desain. Konsep yang pada saat itu muncul adalah bentuk dari respon mereka terhadap kondisi kota paska Revolusi Industri yang mengalami degradasi sosial dan lingkungan. Utopianisme merupakan sebuah konsep kota yang memadukan keberhasilan industrialisasi di satu sisi dengan sebuah konsep desain tata ruang yang ideal. Sebut saja Ebenezer Howard, Le Corbusier, Frank Lloyd Wright, Lewis Mumford, dan Clarence Stein yang memberikan pengaruh besar pada dunia perencanaan kota hingga saat ini dengan konsep kota yang mereka ciptakan. Walaupun terdapat sebagian pandangan yang menyebutkan bahwa konsep perencanaan dengan latar belakang utopianisme merupakan konsep yang tidak responsif terhadap perubahan dan menghalangi masyarakat untuk menjadi responsif.6
Kota digambarkan tidak lagi humanis akibatkan perkembangan ekonomi yang terjadi, di mana pertumbuhan ekonomi tidak secara linier menggambarkan pula tingkat kesejahteraan penduduknya. Munculnya kaum miskin kota yang notabene adalah para pekerja industri dan merupakan mayoritas penduduk kota pada masa tersebut tentu menjadi sebuah hal yang menarik ketika dikaitkan dengan hal-hal lain yang menyertainya. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain urban sprawl akibat munculnya permukiman kumuh, kesehatan masyarakat yang semakin menurun akibat kondisi drainase dan sanitasi yang buruk, tingkat polusi yang tinggi, dan ketiadaan pada akses kesehatan, serta menurunnya kondisi lingkungan akibat peningkatan polusi udara dan air. Tidak hanya secara fisik permasalahan ini nampak tetapi juga timbulnya ketidakseimbangan sistem sosial yang muncul akibat peningkatan kegiatan yang tidak dapat mensejahterakan masyarakat secara luas bahkan kemudian memunculkan kesenjangan yang cukup besar terhadap para pemilik modal dengan para pekerjanya.7
Dengan semakin berkembangnya isu yang terjadi dalam perencanaan kota, perencanaan kemudian tidak lagi sekedar sketsa perencanaan yang bersifat normatif tetapi kemudian secara nyata melibatkan berbagai disiplin ilmu untuk ikut memecahkan permasalahan yang ada. Mulai tahun 1928, ilmu-ilmu sosial mulai berkontribusi dalam dunia perencanaan. Kemudian pada era 1950 dan 1960, ilmu-ilmu ekonomi mencoba memberikan solusi terhadap permasalahan kesejahteraan dan metode-metode dalam pengambilan kebijakan dalam perencanaan8. Disiplin-disiplin ilmu tersebut menjadi perhatian penting terutama menyangkut penyediaan pelayanan perkotaan yang bersifat esensial. Pada era inilah kemudian perencanaan dalam konteks regional menjadi penting karena perencanaan semakin bersentuhan dengan pertumbuhan perkotaan, tidak lagi kota secara individual, yang semakin luas dan cepat, kepadatan yang semakin tinggi di area perkotaan, kegiatan yang semakin kompleks, dan kesenjangan yang semakin tinggi, baik di internal sebuah kota, maupun dalam hubungannya dengan wilayah lain sekitarnya. Oleh karena itu perencanaan regional berusaha menjadi solusi dalam kebijakan-kebijakan alokasi sumberdaya yang dapat memberikan efek positif terhadap pertumbuhan sebuah wilayah yang pada akhirnya kesejahteraaan dapat meningkat sekaligus ketimpangan wilayah dapat direduksi.